K.A. Applegate Konspirasi (Animorphs # 31) Judul Asli The Conspiracy Terbit Juli 1999, ghostwriter Laura Battyanyi-Wies Quote sampul depan: “Kalau mereka selalu bilang 'semuanya cuma di kepalamu,' percayailah…” Translated by Nat 2010 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Chapter 1 Namaku Jake. Jake saja. Nama belakangku tidak penting. Dimana aku tinggal dan dimana sekolahku juga tidak penting. Yang penting adalah kita sedang perang, bertarung bagi keselamatan umat manusia. Mungkin kamu berpikir ‘Yeah, benar.’ Tidak apa-apa. Aku tahu – aku mungkin akan mengatakan hal yang sama dulu. Nggak mungkin. Mustahil. Kalau iya, lalu dimana para tentara yang berbaris di pantai? Dimana bom-bomnya? Dimana medan pertempurannya? Semua RPV dan misil antar-benua? (RPV = Remotely Piloted Vehicle – Kendaraan yang Dikendalikan dengan Remote) Well, bukan perang yang seperti itu. Medan pertempurannya adalah dimanapun kami, yang berarti aku dan teman-temanku, berada. Kami adalah animal-morpher, diberikan kemampuan untuk menyerap pola DNA hanya dengan menyentuh, lalu berubah menjadi binatang tersebut. Senjata yang luar biasa, jenis yang terbuat dari impian dan mimpi buruk sekaligus. Tanya Tobias, yang tinggal dalam tubuh elang ekor-merahnya lebih lama dari dua jam dan sekarang menghabiskan hari-harinya menangkap serta memakan mamalia kecil. Atau datangi salah satu dari kami di jam-jam antara malam dan pagi, ketika mimpi-mimpi buruk itu berdatangan—mimpi tentang tubuh-tubuh yang terpuntir dan pikiran-pikiran yang bermutasi. Seperti yang telah kubilang, ini bukan perang biasa. Kamilah tentaranya, enam anggota kami. Kami sedikit ditolong oleh para Chee, tapi mereka tidak melakukan kekerasan, jadi ketika tiba waktunya melakukan pekerjaan rendah dan kotor, kamilah orangnya. Kami, sendirian, melawan kekaisaran alien yang sudah lebih dulu meneror galaksi. Yeah, aku tahu. Kesempatan bagus. Hampir semua anggota kami belajar bertarung dengan tipe-latihan-sambil-jalankan-misi yang mematikan. Tapi beberapa dari kami punya sedikit dasar, seperti sepupuku Rachel, yang menyukai semua ini. Dan Ax, yang nama lengkapnya Aximili-Esgarrouth-Isthill, kadet-prajurit sekaligus adik Elfangor, sang Andalite yang memberikan kemampuan morf pada kami sebelum dia terbunuh oleh Visser Three. Aku tahu, kedengaran seperti omong kosong, kan? Terdengar seperti mungkin aku harus menghabiskan beberapa malam di RSJ. Tapi itu benar. Ini hal gila yang menjelma menjadi kenyataan. Dan perang ini tidak bersih, kalau memang ada perang yang bersih. Maksudku perang seperti Perang Dunia II, dimana ada ribuan orang menjadi saksi akan ketidakadilan dan angkat suara untuk memperbaiki hal tersebut. Dimana ketika kau menyerang seorang musuh kau bisa melihat, seorang musuh yang mengenakan sebuah seragam dan berlari menerjangmu, senapannya menderu. Perang ini benar-benar tidak seperti itu. Metode para Yeerk lebih halus daripada itu. Mereka bukan predator, mereka parasit. Mereka tidak ingin menghancurkan umat manusia, mereka tidak ingin membuat tumpukan mayat, mereka butuh tubuh-tubuh kita untuk melanjutkan invasi mereka. Mereka seperti siput. Parasit. Tanpa tangan, kaki dan muka. Buta. Maka itu mereka membutuhkan induk semang. Mereka menyelinap ke dalam telingamu, memipih di celah-celah kecil otakmu, membuka memorimu. Dan kau masih di dalam tubuhmu selama itu terjadi, terperangkap, tak berdaya, memohon supaya mimpi buruk itu berhenti. Hanya saja, itu nyata. Dan tidak berhenti. Kau ingin memeringatkan orang-orang dan kau tidak bisa membuat kata-katamu keluar. Tapi si Yeerk di kepalamu bisa mendengarnya. Dia bisa mendengar tangisan menyedihkanmu, ancaman-ancaman kosongmu. Dia bisa mendengarmu memelas, ‘Kumohon, kumohon tinggalkan aku, keluar dari kepalaku, kumohon…’ Dan dia bisa merasakanmu perlahan menyerah, bahkan untuk berpura-pura bertahan. Para Yeerk ada dimana-mana, menggunakan induk semang bukan-sukarela mereka untuk bergerak bebas, untuk merekrut anggota baru ke dalam organisasi yang mereka sebut The Sharing dimana janji kesenangan keluarga yang baik dan bersih ditebar. Merekalah musuh terbesar kami. Kami sudah mengenali beberapa dari mereka. Wakil kepala sekolah kami, Mr. Chapman. Ibu dari teman terbaikku, Marco. Kakakku, Tom. Aku tahu bagaimana rasanya bagi para prajurit di Perang Sipil itu, Utara melawan Selatan, saudara melawan saudara. Hidup dengan fakta gelap dan mengerikan bahwa jika kau menemui kakakmu di medan perang, dia akan membunuhmu. Kecuali kau membunuhnya duluan. Aku tahu Tom yang asli sedang berada di dalam sana, entah dimana, murka dengan Yeerk yang menyanderanya, memohon pada siapapun untuk menyelamatkannya. Aku tahu karena aku pernah disusupi Yeerk yang sama dengan yang dulu mendiami tubuh Tom sebelum dia diserahkan pada Yeerk lain. Aku mendapatkan akses ke segala ingatannya, jadi aku bisa melihat bagaimana Tom diseret, menjerit-jerit, memberontak, sebelum akhirnya memohon pada kolam Yeerk untuk menerima siputnya. Aku diselamatkan. Tom tidak. Tapi memori itu tinggal bersamaku. Akan terus tinggal. Dan juga semua pertarungan itu. Menang, kalah, ataupun seri, mereka hanyalah kumpulan kekerasan carut-marut penuh dengan amarah serta rasa sakit. Dan ketika pertarungan itu usai dan adrenalin merayap pergi, kau ditinggal kelelahan dan mual, dibebani terlalu banyak memori. Kakek ‘G’ku – ‘G’ untuk great-grandpa (kakek buyut-Nat) – pernah memberitahuku sesuatu, jauh sebelum aku bisa mengerti apa maksud perkataannya itu. Keluargaku sudah mengendarai mobil delapan jam untuk mengunjungi kabinnya di tengah hutan. Dia dan aku duduk di dermaga pinggir danau, menonton ikan-ikan menyambar nyamuk dari permukaan air yang bening dan jernih. Dan waktu itu sunyi sekali. Cukup sunyi untuk membuatku berharap aku masih di rumah dengan TV menyala membahana, anjingku Homer menggerogoti mainan daging mentah. Aku baru saja hendak pergi ketika Kakek G berkata, “Kamu tahu, aku bisa melihat diriku dalam dirimu, Jake. Kamu punya jiwa yang tua.” Jiwa yang tua? Hal itu baik atau buruk? Dia tidak pernah menjawabnya. Hanya melemparkan semacam senyuman kecil yang kelihatan agak sedih, dan mengembalikan pandangannya ke danau. Aku tidak tahu apa yang dia maksudkan waktu itu, atau mengapa dia mengatakannya. Aku tidak tahu, mungkin dia sudah melihat masa depanku, entah bagaimana caranya. Karena sekarang aku tua. Jika kau melihat terlalu banyak penderitaan dan kehancuran, kau bertambah tua di dalam. Salah satu efek ciptaan perang. Aku pemimpin tak resmi para Animorphs. Aku yang mengirim kami ke kancah pertempuran. Ketika ada yang salah, ketika kami terluka atau harus kabur untuk menyelamatkan nyawa kami, itu semua dibebankan padaku juga. Aku tidak mengeluh. Harus dilakukan. Kau tahu? Harus ada yang mendapat panggilan itu. Pemimpin yang baik harus bisa membuat keputusan yang sulit dan penuh perhitungan. Mengenal semua kekuatan unik anggota pasukannya dan menggunakannya sesuai kondisi. Bertarung untuk menang dengan kemungkinan dia akan mati ketika melaksanakannya. Tapi yang paling penting, seorang pemimpin tidak akan memerintahkan sesuatu yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Hal itu ikut pulang untuk menghantuiku. Karena dalam tiga hari ke depan, kakakku Tom akan membunuh atau terbunuh. Dan keputusannya ada di tanganku. Chapter 2 Aku berbelok di sudut jalan setelah kembali dari sekolah dan menemukan sebuah taksi diparkir di depan rumahku. Ibuku berlari melintasi halaman depan, koper berpergian membentur-bentur lututnya, dan dia terburu-buru di trotoar menuju taksi itu. Apa yang…? Ibuku tidak pernah menggunakan taksi. Tak ada seorangpun yang menggunakan taksi di sekitar sini. Semuanya punya mobil. “Mom!” Aku berteriak, berlari-lari kecil menghampirinya. “Apa yang terjadi?” Karena sesuatu pasti telah terjadi. Maksudku, aku pernah melihat ibuku menyedot ingus gara-gara iklan Save the Children dan kartu Hallmark, tapi aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali aku melihatnya benar-benar menangis. Tapi dia benar-benar menangis sekarang. Pasti ada yang sudah terjadi pada Tom. Atau Dad. Lututku langsung lemas dan goyah. Menggelikan, betapa hidupmu sudah berubah menjadi episode harian Twilight Zone tetapi masih saja ada hal yang bisa membuatmu panik. (Twilight Zone = Seri TV Amerika yang temanya tentang hal-hal aneh, filosofis, fantasi, science-fiction, suspense, horor… Mulia pertama tahun 1959 dan dihidupkan kembali dua kali, termasuk populer. ) “Aku meninggalkan catatan di pintu kulkas, Jake,” katanya, mengangkat kopernya ke dalam bagasi dan membantingnya tertutup. “Pesawatnya lepas landas dalam sejam dan jalanan mungkin – “ “Mom, apa yang terjadi?” Aku menyela. Suaraku tinggi dan bergetar, tidak persis seperti suara seorang pemimpin tak kenal takut, seperti yang mungkin Marco akan katakan, andai saja dia berada di sana. “Oh.” Dia mengedipkan beberapa air mata pergi. “Kakek G meninggal. Penjaga rumahnya, Mrs. Molloy, menemukan tubuhnya pagi ini. Aku mau bertemu kakek-nenekmu dan kita akan pergi ke kabin Kakek G untuk persiapan pemakamannya.” “Kakek G meninggal?” Aku membeo, mencoba mengarungi pusaran emosi yang berpusing dalam kepalaku. Kakek G. Bukan Tom. Bukan ayahku. “Iya. Jantungnya yang lemah baru saja berhenti bekerja,” ujarnya. “Ibu mau pergi ke kabin?” tanyaku. “Bagaimana dengan kami?” “Kalian akan menyusul setelah ayahmu membersihkan jadwal kerjanya, secepat mungkin,” katanya, menyentuh bahuku, memaksakan senyum singkat, dan menyusup ke bangku penumpang. “Dia akan bercerita tentang ini. Segalanya akan baik-baik saja. Jangan lupa bersihkan setelanmu. Aku akan menelepon setelah sampai di tempat Nenek. Aku harus pergi, Sayang.” Dia menutup pintunya dan melambai. Aku menonton sementara taksi itu menghilang di balik belokan. Sekarang apa? Aku masuk ke dalam rumah. Mengecek catatan lecek yang ditempel di bawah magnet kulkas berbentuk apel. Yeah. Kakek G meninggal. Menurut Mrs. Molloy, yang sudah berbicara dengan dokter, jantungnya berhenti saat dia sedang mengoleskan selai di roti panggangnya. Dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memakannya. Aku mengigil. Aku peduli soal Kakek G dan sekarang dia sudah pergi, dan keluargaku mengecil. Aku tidak suka itu. Pintu dapur menjeblak terbuka. Tom menghambur ke dalam ruangan. “Dan kuberitahu, Dad, aku nggak bisa pergi!” tukasnya, melemparkan buku-bukunya di meja dan mengerinyit padaku. “Apa lihat-lihat?” “Kamu pulang lebih awal,” kataku, terkejut. Ayahku berjalan perlahan ke dalam, lelah, terganggu, dan menutup pintu di belakang punggungya “Ayah juga,” kataku, mengalihkan pandanganku darinya ke Tom. “Mom sudah beritahu kalian soal Kakek G?” “Ya,” jawab ayahku. “Kupikir aku bisa sampai di rumah tepat waktu untuk mengantarnya ke bandara tapi macetnya parah sekali. Aku melihat Tom jalan pulang dan menjemputnya.” “Kamu tahu nggak kita harus pergi ke kabin?” tuntut Tom, melotot padaku seakan semuanya salahku, entah bagaimana. “Uh, yeah,” jawabku hati-hati, mencoba menerka apa masalahnya. “Jadi?” “Jadi, Tom bilang padaku dia nggak mau meninggalkan teman-temannya untuk menghadiri pemakaman kakek buyutnya,” kata ayahku, menatap Tom, bukan aku. “Walau begitu dia nggak punya pilihan. Kita pergi. Kita semua.” “Kapan?” Aku berkata, merasa seakan aku melewatkan sesuatu yang penting. Ada di sana, hanya saja tidak kesampaian. “Kita berangkat Sabtu pagi,” jawab ayahku. “Dad, aku nggak bisa,” Tom bersikeras. “The Sharing membutuhkan tenagaku akhir minggu ini. Aku sudah janji!” “Well, kamu tinggal menjelaskan ada hal yang lebih penting muncul,” balas ayahku. “Kupikir The Sharing mendukung nilai-nilai kekeluargaan? Well, kita akan ziarah ke tempat Kakek G sebagai keluarga.” “Dad, kau tidak mengerti!” ujar Tom frustasi. Kenapa Tom begitu bersikukuh tidak mau pergi ke danau? Oke, memang membosankan. Kabin Kakek G hanyalah satu-satunya di danau itu. Tetangga terdekatnya adalah Mrs. Molloy dan dia tinggal tujuh mil jauhnya, setengah jalan menuju kota. Rumah lainnya di sekitar situ hanyalah pondok berburu tua tak berpenghuni di seberang danau. Tak ada TV kabel. Tak ada Taco Bell. Tak ada lampu jalanan atau keramaian. Tak ada bioskop. Tak ada mall… Tak ada Sharing. Tak ada Yeerk… “Uh, Dad?” Kataku. “Berapa lama kita mau menginap?” “Tergantung pemakamannya. Aku akan menulis surat supaya kalian bisa izin sampai Selasa depan – “ “Apa?” Mata Tom membundar kaget. “Selasa? Dad, no way! Empat hari? Aku nggak bisa pergi selama empat hari!” “Kamu bisa, dan kamu akan,” kata ayahku, kehilangan kesabarannya. “Kita pergi sekeluarga, titik.” Leher Tom menegang. Tangannya mengepal. Dan dalam satu detik yang singkat aku punya pemikiran gila bahwa dia akan menyerang ayahku. Dan, ya ampun, walaupun aku tidak bisa morf di depan mereka, aku bisa merasakan deru adrenalin yang datang tepat sebelum pertarungan. Tiga, mungkin empat hari. Waktu maksimal yang bisa ditahan seorang Yeerk tanpa pergi ke kolam Yeerk adalah tiga hari. Empat hari tanpa sinar Kandrona dan Yeerk di kepala Tom akan kelaparan. Mati kelaparan, kau Yeerk, kelaparan! “Nggak buruk-buruk amatlah, Tom,” aku mendengar diriku sendiri berceletuk. “Danaunya bagus, ingat?” Jalan buntu terbuka. Tom menatapku. “Kamu ini idiot, tahu nggak?” Dia sedang memainkan perannya sebagai kakak laki-laki yang angkuh. Aku memainkan peranku juga. Mati kelaparan, Yeerk. Matilah dengan penuh penderitaan, matilah sambil menjerit, Yeerk! “Tutup mulut,” kataku. “Bukan aku yang berlagak kayak bayi besar cuma gara-gara pergi.” Aku mengatakan hal itu untuk membuatnya sebal dan untuk membawa kami ke rutinitas yang kami ketahui, jenis adu mulut yang bisa kutangani. Karena kebencian dalam mata Tom saat dia menatap ayahku membuatku takut. Dan kebencian yang membara dalam diriku, kebencian terhadap Yeerk itu, kegairahan menjijikkan dalam menunggu penderitaannya, membuatku takut juga. “Kamu nggak punya kehidupan luar sih,” Tom mencibir. “Oh, masa, memangnya kamu punya?” Aku membalas. “Lebih daripada yang kamu tahu,” jawabnya gelap, perhatian teralih. “Cukup,” kata ayahku. “Aku mau ganti baju. Kalau aku kembali kita akan pesan pizza.Bagaimana?” “Aku nggak lapar,” gumam Tom, menatap lantai. Aku juga, tapi ayahku memandangiku penuh harapan, jadi aku berkata, “Pizza, aku datang.” Ayahku mengangguk, puas, dan pergi. Aku menatap kakakku dengan sedikit simpati, mencoba berdamai. “Mungkin kamu bisa nggak ikut, entah bagaimana.” Aku harus berjuang untuk menahan cengiran muncul di wajahku. Atau mungkin, Yeerk, topengmu mulai hancur, mungkin kau akan harus memilih antara mempertahankan Tom atau mempertahankan hidupmu yang kotor. “Tutup mulut,” kata Tom tidak fokus. Yeerk itu tidak membutuhkanku, tidak tertarik padaku. Aku dienyahkan. Tak ada hubungannya. Aku berbalik dan berlari menuju halaman belakang, kepalaku berdengung dengan segala kemungkinan. Yeerknya Tom terperangkap. Di bawah tekanan. Tergencet. Dia tidak siap pada perubahan kejadian seperti ini. Tidak tahu caranya lolos dari situ. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebuah kesempatan? Mungkin. Yeah, mungkin. Matilah kau, Yeerk! Chapter 3 Suasana makan malam buruk. Tom mencoba segalanya untuk meloloskan diri. Dia memohon. Memelas. Memprotes. Merengut. Dia bahkan mencoba memberi alasan. Ayahku tidak bergeming. Aku menyelesaikan makanku dan kabur dari situ. Aku harus berpikir tentang apa yang akan terjadi dan aku tidak bisa melakukannya sementara Tom ada di sekitar situ. Aku menyusuri trotoar, otomatis menuju rumah Marco, tapi aku benar-benar tidak tahu kemana aku ingin pergi. Aku mau bicara pada Cassie, tapi dia dan orangtuanya, keduanya dokter hewan, sedang menghadiri semacam seminar penyelamatan hewan sampai nanti. Sayang sekali, karena dialah orang yang benar-benar ingin kuajak bicara. Dari semua anggota kami, Cassielah yang paling mengerti hal-hal memusingkan : motif, emosi, benar dan salah. Marco teman terbaikku, dan jika aku ingin berdiskusi soal rencana yang bagus, soal bagaimana cara pergi dari poin A ke B dan melupakan akibat-akibatnya, aku akan bicara pada Marco. Tapi Cassie melihat di balik permukaan. Aku bukan jenius, tapi aku tahu aku berada terlalu dekat untuk memandang hal ini dengan jelas. “Yo, Jake man! Aku baru saja mau ke rumahmu.” Marco. Berlari kecil menghampiriku. “Aku mau pinjam catatan Inggrismu.” Aku menoleh, kaget. “Oh. Uh, hai.” “Kenapa, kamu terbangun?” katanya, mengecek tubuhku. Aku mendorongnya pergi. “Sejak kapan kamu bilang ‘Yo’?” “Tadinya aku mau bilang ‘Hei, cakep,’ tapi kupikir kamu lebih memilih ‘Yo.” “Uh-huh.” “Jadi, yo-yo, ada berita baru?” “Aku baru saja berpikir soal sesuatu,” kataku, mengangkat bahu. Lalu aku memutuskan, ya sudahlah. Marco sudah jadi temanku sejak kami masih bermain di kotak pasir. Ditambah lagi dia sudah kehilangan ibunya – ceritanya memusingkan – jadi kupikir dia tahu bagaimana perasaanku. “Kakek G-ku meninggal tadi.” “Man. Sayang sekali,” katanya, berjalan di sisiku sementara kami kembali ke rumahku. “Tapi dia sudah tua, kan? Maksudku dia ikut Perang Dunia III.” “Perang Dunia II, Marco. Kedua.” “Nggak, duh,” katanya. “Kita pernah melewatkan siang yang sangat nggak enak di tengah Perang dunia II, coba kamu ingat. Atau seenggaknya versi Perang Dunia II yang waktunya kacau.” Itu juga ceritanya panjang. “Yeah, dia ikut perang. Perang yang asli,” kataku sambil berbelok di sudut menuju rumahku. “Ibuku sudah terbang ke sana untuk bantu-bantu mempersiapkan pemakaman. Kita seharusnya – “ Mobil ayahku tidak berada di pinggir jalan. Janggal. “Kapan pemakamannya?” Tanya Marco. “Nggak tahu juga. Mungkin Senin,” jawabku, berjalan sedikit lebih cepat. Bagian otakku yang dalam dan gelap, bagian yang merasakan adanya bahaya, telah memompa adrenalin ke aliran darahku. Ada yang salah. “Kenapa?” Tanya Marco, cepat tanggap. “Entahlah. Perasaan nggak enak.” Perasaan seperti ada hal penting yang terlupakan. Dan karena aku sudah melupakannya… Aku mencoba mengusirnya pergi. Aku berjalan makin cepat. “Aku izin dari sekolah mulai Senin. Mungkin Selasa,” kataku tanpa konsentrasi, menyeberangi halaman depan. “Aku, ayahku, dan Tom akan berangkat Sabtu pagi.” “Itu apa, empat hari?” Kata Marco, lalu mencengkram lenganku. “Empat hari tanpa sinar Kandrona?” Lanjutnya dengan nada yang rendah karena tegang. “Apa Tom tahu berapa lama kalian mau pergi? “Yeah, dia dan ayahku bertengkar hebat gara-gara itu,” jawabku, mengebaskan tanganku. “Ayahku bilang dia harus pergi.” Lalu Tom menatap ayahku dengan pandangan penuh kebencian pekat. Bukan, bukan Tom. Yeerk yang mendiaminya. Mengendalikannya. Tangan Tom, terkepal. Siap untuk menerjang ayahku. “Kamu meninggalkan mereka berdua sendirian,” kata Marco. Itu bukan tuduhan. Tidak menyalahkan. Hanya pernyataan. Seperti yang kukatakan, Marco bisa melihat garis dari A ke B. Dia sudah melihat dilema Tom. Dan dia sudah melihat solusi kejam yang Tom punya. Aku mengikuti pandangan Marco yang menyipit. Rumahku sunyi senyap. Terlalu sunyi. Aku berlari kencang, tersandung di undakan, dan membanting pintunya terbuka hingga suaranya menggema di jalanan. Chapter 4 Hening. Hening yang kosong, dimana kamu tahu tidak ada siapapun di sana kecuali dirimu. “Dad?” Aku tetap memanggil, berlari menuju koridor. “Dad? Tom?” Tak ada jawaban. Jantung berdegup kencang, aku melompati anak tangga dua-dua. “Dad?” Aku mengecek kamar tidur orang tuaku. Kamar Tom. Kamarku. Rapi-kecuali kamarku. Kosong melompong. Membuatku merasa sedikit lebih baik, tapi tidak terlalu. “Jake,” kata Marco tepat di belakangku. “Yaaahh!” Aku menjerit, terlonjak di udara. “Sori.” “Jangan lakukan itu!” Sergahku kasar, mendorongnya minggir dan menuruni tangga menuju dapur. Aku mengecek keadaan sekitar, menggeledah dapur mencari sesuatu, apa saja yang dapat memberitahuku kemana mereka pergi. Lemari. Tempat cuci piring. Toples penuh kue kering dan pasta dan kopi, berjejer di rak. Mesin pembuat kopi. Kulkas. Pemanggang roti. Teratur. Tak ada yang terlihat tidak di tempatnya. Emosiku meledak. Aku menghantam sisi kulkas. BAM! Salah satu magnetnya terjatuh. Magnet apel, yang tadi ditempeli catatan ibuku soal Kakek G. Hanya saja catatan kedua, yang tertempel di belakangnya, sudah tidak ada. Apa seseorang mengambilnya? Kenapa, padahal di atasnya tertulis nomor penerbangan dan detil soal apa saja yang harus kami bawa ke sana? Tempat sampah. Dengan panik, aku menyambar tong plastik itu dan membuka tutupnya. Berlutut dan mengintip ke dalam. Tergeletak lecek di atas kulit pisang dan ampas kopi dan kemasan yoghurt kosong adalah gumpalan kertas pink. Teremas-remas. Aku bangkit dan meratakannya di konter. Di bagian atasnya terdapat catatan ibuku soal informasi penerbangan. Di bagian bawahnya ada tulisan tangan ayahku. Jake : Aku pergi ke rapat The Sharing bersama Tom untuk menjelaskan kenapa dia tidak bisa membantu mereka akhir minggu ini. Akan kembali secepat mungkin. Love, Dad. “Ya, Tuhan,” bisikku. Ayahku tidak membuang catatan ini. Tom-lah yang melakukannya. Supaya tidak diikuti. Tom sedang membawa ayahku ke The Sharing. Tapi bukan supaya dia bisa diberi izin. Dia mencoba mengubah ayah kami menjadi seorang Pengendali. Dia akan menonton sementara mereka memaksanya berlutut dan mendorong kepalanya masuk ke dalam kolam Yeerk yang kental dan berlendir. Dia akan mendengarkan permohonan-permohonannya. Mendengarkan jeritannya. Teriakan ketakutannya dan ketidakpercayaannya dan kepanikannya. Mendengarkan, lalu tertawa. Jangan. Aku mulai gemetaran. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tahu lebih awal. Marco sudah melihatnya, kenapa aku tidak? “Kita harus menemukan mereka,” kataku, dengan kalut menyusuri pikiranku untuk mencari jalan. “Bagaimana?” tanya Marco. “Kita bahkan nggak tahu mereka dimana.” “Marco, ini ayahku!” teriakku, kehilangan kendali. “Aku nggak akan membiarkan mereka mengambilnya.” “Kalaupun kita menemukannya, kamu mungkin nggak akan bisa berargumen apa-apa,” katanya pelan. “Mungkin sudah terlambat.” Tidak, tak mungkin sudah terlambat. Tak boleh… Tidak. Mereka takkan mendapatkan ayahku. Aku akan menghentikan mereka. Walau artinya aku harus menghentikan kakakku sendiri. Pokoknya, aku harus melakukannya. Marco meremas catatan itu dan melemparkannya kembali ke tempat sampah. Meletakkan magnet apelnya di kulkas. Aku berdiri di sana, cemas, gemetar tidak sabaran, ingin pergi, pergi, PERGI ke suatu tempat, kemana saja, asal pergi dan menemukan ayahku. “Kita harus menyembunyikan jejak kita, jake,” dia menjelaskan. “Kita nggak bisa membiarkan Tom tahu kalau kita tahu.” “Ya, terserahlah,” kataku, bergegas menuju pintu. Aku tidak memberitahu Marco, tapi waktu itu aku sama sekali tidak peduli soal menjaga rahasia kami. Aku tidak peduli soal menyelamatkan dunia. Aku sedang menyelamatkan satu orang. Sisanya bisa menyelamatkan diri sendiri. Ada beberapa kehilangan yang tidak akan mau kualami, tak peduli apa syaratnya. Aku sudah kehilangan kakakku. Sudah cukup. Aku tidak mau kehilangan siapapun lagi. “Para Chee,” ujarku tiba-tiba. Aku menghampiri telepon. Marco menekan tombol penerimanya. “Jangan dari rumahmu, man. Begini. Jake. Jake, dengarkan aku.” “Apa? APA?” “Kamu bosnya, Jake. Kamu si pemimpin tak kenal takut. Tapi nggak sekarang, oke? Kamu terlalu kacau gara-gara ini. Biar aku yang tangani.” Aku tahu dia benar. Aku tidak membalas. Aku membenci Marco saat itu. Membencinya karena dia tidak akan melakukan kesalahan yang mungkin akan kubuat. Dia pasti sudah akan memperhitungkannya… Membencinya karena dia sudah kehilangan ibunya dan dia tahu seperti apa isi kepalaku, karena dia tahu aku ketakutan dan hanya ingin menangis. “Ayolah, man,” kata Marco. Kami mendatangi telepon umum untuk menelepon Erek King. Dia seorang Chee. Chee adalah ras android. Didesain anti-kekerasan. Tapi sudah pasti anti-Yeerk. Mata-mata sempurna. Sekutu kami. Setidaknya sejauh mesin nyaris abadi bisa bersekutu dengan manusia yang lemah dan berumur-pendek. Para Chee akan mengetahui setiap jadwal pertemuan The Sharing. “Tak ada jadwal hari ini,” kata suara seperti-manusia itu. “Tapi seharusnya ada,” ujarku frustasi, berjalan kesana-kemari, tertahan oleh kabel telepon yang pendeknya menyebalkan. “Tom sedang mengantar ayahku ke sana! Ayolah Erek, please!” “Jake, kau tahu aku akan memberitahumu seandainya iya,” jawab Erek dengan penyesalan kalem. “Mungkin Tom meminta rapat darurat untuk menyelesaikan masalah ini.” “Lalu bagaimana kita bisa tahu dimana mereka berada?” kataku, melirik Marco kalau-kalau dia punya saran. Dia mengangkat bahu, terlihat nelangsa. Aku mengalihkan pandanganku, ingin rasanya menangis. Berjuang untuk mengendalikan diri. Berpikir, Jake. Kalau si Chee tidak tahu dimana para Yeerk akan berkumpul, bagaimana kita bisa tahu? “Tunggu,” ceplosku. “Bodoh! Aku nggak harus menemukan para Yeerk untuk menemukan ayahku. Aku tinggal mencari ayahku dan kita akan menemukan tempat mereka rapat. Harusnya aku kepikiran hal itu.” “Baiklah,” Erek membalas hati-hati. “Bukan, sebenarnya mudah saja. Dia selalu membawa ponselnya. Aku tinggal menelepon dan menanyainya – “ “Kamu nggak bisa,” kata Marco dan Erek bersamaan. “Kenapa nggak?” “Jake, kalau kamu menelepon dan bertanya dimana ayahmu sekarang, lalu rapatnya nggak jalan gara-gara kita, kamu pikir mereka nggak akan bisa menduga-duga?” “Aku nggak peduli,” kataku, sebelum aku bisa menghentikan diriku. Simpati menguap dari wajah Marco. “Kamu nggak akan membiarkan aku terbunuh untuk menyelamatkan ayahmu!” Tukasnya. “Mungkin ada jalan lain,” sela Erek. “Berikan nomor ponselnya. Tutup telepon ini, telepon ponselnya, dan aku akan menyadap frekuensi kalian. Kau meneleponlah tapi jangan berbicara. Jika ayahmu mengangkatnya, aku akan menganalisa data dari bunyi-bunyian sekitar dan mungkin kita bisa menentukan dimana lokasinya.” Aku tidak memandang Marco. Tidak bisa. “Bagus. Hebat.” Aku memberitahukan nomornya pada Erek, memutuskan teleponnya, dan mulai memanggil ponsel ayahku. Berdering sekali. Dua kali. Tanganku bergetar. Marco memandangiku, matanya menyipit. Tubuhnya tegang, siap menyambar gagang telepon kalau aku sampai membuka mulut. Aku menutup mataku, betapa ingin ayahku yang mengangkat. Berdoa semoga tidak terlalu terlambat. Chapter 5 “Halo?” Tom. Tom yang menjawab ponsel ayahku. Mulutku otomatis terbuka untuk menjawab. Marco menerjang, mencungkil gagang telepon dari tanganku. Meletakkannya di telinganya. Menatapku dengan pandangan yang suram dan tak terbaca. Aku tidak bergerak. Tidak bisa. Karena aku tidak bisa mempercayai apa yang hampir saja kulakukan. Jika aku sempat mengatakan satu kata, satu saja, aku akan menjatuhkan ayahku ke kolam Yeerk, kalau bukan teman-temanku terlebih dahulu. Aku tidak bisa berhenti gemetar. Tidak bisa mengendalikan diri. Marco mendengarkan, lalu menutup gagangnya. “Sebaiknya kamu menelepon Erek balik,” katanya tenang, melangkah pergi dari telepon. Aku mengangguk, terlalu malu bahkan untuk memandangnya, terlalu khawatir soal ayahku bahkan untuk memikirkan kata-kata untuk menghilangkan jarak di antara kami berdua. “Aku sudah menganalisa data dari panggilan tersebut dan telah menyempitkan kemungkinannya menjadi empat lokasi,” kata Erek saat aku menghubunginya. “Empat!” sergahku. Kami tidak punya waktu untuk mencari di empat lokasi berbeda! “Dimana mereka?” “Well, dari faktor kekuatan frekuensinya, menara sinyal ponsel yang sedang hidup, dan bunyi di latar belakang seperti suara pesawat jet di udara, mesin mobil yang berjalan perlahan, langkah kaki manusia, serta berbagai bunyi lainnya, analisa kami merujuk pada bagian utara kota, sekitar antara blok delapan ribu dan empat belas ribu utara-ke-selatan, lalu blok enam ratus dan seribu dua ratus timur-ke-barat. Sebuah area selebar enam kali enam blok. “Tempat apa di area itu yang bisa jadi lokasi rapat, bahkan rapat kecil?” aku merasa bersyukur. Aku juga tidak sabaran. Panik. “Pusat Warga Negara Senior, pusat perbelanjaan dengan empat toko, satu toko peralatan kecil dan satu toko auto-body. Ditambah, sekitar tujuh puluh lima rumah pribadi.” (Auto-body = Tempat reparasi dan aksesoris mobil) Aku menyumpah. “Perumahan! Kita nggak bisa menggeledah tujuh puluh lima rumah! Erek, aku butuh info lagi.” “Ada potongan percakapan. Hanya dua kata.” “Kata apa?” “’Waktu biasanya.’” “Apa?” “’Waktu biasanya.’ Seperti dua kata terakhir sebuah kalimat. Blah, blah, blah, ‘waktu biasanya,’” kata Erek. Tiba-tiba di pikiranku muncul kelebatan bayangan sosoknya di ujung sana. Apa dia sedang menggunakan wujud androidnya yang asli, atau terselubungi oleh hologram sempurna yang menyamarkannya sebagai anak manusia biasa? “Jangan perhitungkan toko auto-body,” kata Marco. “Pasti ramai. Benar-benar bising. Kalau mereka buka, sih. Toko peralatan juga. Paku-paku berjatuhan, kaleng cat dikocok… kalau bukan perumahan para lansia ya pusat belanjanya.” “Atau salah satu dari tujuh-lima rumah pribadi itu,” lanjutku. “Erek? Kami butuh tebakan terbaikmu.” “Aku tidak punya – “ “Tebak saja!” aku berteriak. “Pusat perbelanjaan itu. Empat toko. Pikirkan kemungkinannya,” ujar Erek. “Panggil Rachel. Bawa dia dan yang lainnya ke lokasi-lokasi yang lain.” Aku membanting teleponnya menutup. Tak ada waktu untuk berterima kasih. Akan ada terima kasih setelah kami memenangkan balapan ini. “Pusat belanja,” aku memberitahu Marco. “ Kalau di tempat para lansia? Mereka pasti punya tempat kumpul-kumpul. Toko nggak punya.” “’Waktu biasa’. Kedengaran kayak toko.” “Kecuali mereka sedang membahas jam makan, atau jam besuk di rumah para lansia itu,” kata Marco. “Ayo jalan,” kataku. Kami berlari kecil kembali ke rumahku. Tempat terdekat dan teraman tanpa ada orang di rumah. Aku melepas baju luarku – memakai celana bersepeda dan T-shirt. Jenis yang minim dan ketat, yang bisa ikut serta dalam morf. Aku memfokuskan pikiranku pada jalinan DNA double-helix yang berenang-renang dalam darahku. Ketika aku membuka mataku, aku sedang jatuh. Menyusut. Dan tak peduli berapa kali hal itu pernah terjadi, perutku tetap terguncang. Mengecil dan mengecil, dengan lantai berlomba untuk menamparku, jatuh seakan aku baru saja lompat dari gedung pencakar langit. Kulitku berubah menjadi putih dan abu-abu, berbintik-bintik. Di atas daging yang keabuan mati, garis-garis bulu Etch-A-Skecth tergambar. Desain menyeramkan yang tiba-tiba berubah dari lukisan menjadi tiga dimensi nyata. (etch a sketch = Mainan untuk menggambar yang diproduksi Ohio Art Company, Amerika.) Mataku menjauh ke kedua sisi kepalaku. Mata yang dapat membaca kamus dari satu blok jauhnya. Mata burung pemangsa. Mata falcon. Kakiku mengerut, menjadi ranting biasa. Jari-jariku memanjang, tulang kosong telanjang yang dengan cepat diselimuti oleh bulu. Bulu ekor mencuat dari belakang, menjalari dadaku, menjalari punggung dan perutku. Marco sedang menjalani mutasi yang serupa. Metamorfosis. Itulah yang kami lakukan. Itulah senjata kami. Dia sedang berubah menjadi osprey, aku menjadi peregrine falcon. Marco mulai mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terpotong sementara mulut dan hidungnya meleleh dan mengeras dan memanjang menjadi paruh osprey yang melengkung mengerikan. Kuku kakiku memanjang, bertumbuh bengkok serta tajam. kataku. Dia ragu-ragu. sergahku. Aku mengira dia akan berkata , “Jangan lakukan apapun yang bodoh.” kata Marco. Chapter 5 Peregrine falcon. Makhluk tercepat di Bumi. Kalau sedang meluncur kecepatanku bisa mencapai dua ratus mil per jam. Tapi aku penerbang jarak pendek, bukan penerbang maraton. Untuk bisa sampai ke bagian utara kota aku harus mengangkasa. Bukan pekerjaan mudah di sore hari ketika matahari sudah mendingin dan aspal tidak lagi menguapkan udara untuk mengangkat sayap-sayap burung pemangsa. Aku bekerja keras untuk terbang, memutar untuk mendapatkan ketinggian. Awalnya Marco bisa menyusulku , tapi lalu dia ketinggalan di belakang dan di bawah. Kalau kau sedang terbang, ketinggian berarti kecepatan. Tobias yang mengajariku hal itu. Pakai energimu untuk mendapatkan ketinggian, lalu kau bisa mengubah perjalanan panjang menjadi satu luncuran. Aku naik dan naik, memerah setiap hembusan udara untuk mengangkat sayap-sayapku yang kelelahan. Naik aku pergi. Dan akhirnya, mendidih karena ketidaksabaran, aku bersahabat dengan gravitasi. Aku tidak bisa melihat target yang spesifik tapi aku bisa melihat daerahnya, kompleks perumahannya. Aku membidik, mengepakkan sayapku, dan mulai meluncur kencang. Lebih cepat! Lebih cepat! Angin mengoyak sela-sela bulu-buluku. Sekitar wajahku. Mengaburkan pandanganku. Melelahkan otot-ototku. Satu gerakan saja salah, satu goyangan mendadak dari sayapku dan momentum ini bisa mematahkan bahuku, melumpuhkanku, membuatku jatuh, tak berdaya menghempas Bumi. Aku pengendara mobil balap. Satu kedutan salah dari bannya dan aku bisa berputar-putar tak tentu arah. Tak ada cara mengukur kecepatanku, tapi aku terbang lebih cepat daripada yang pernah kulakukan. Tanah di bawah menghampiriku. Lampu garasi dan lampu jalan dan lampu belakang mobil yang berwarna merah adalah jejak neon yang panjang. Aku berlomba dengan mobil-mobil di jalan tol di bawahku. Tapi aku terlalu rendah. Aku sudah salah mengukur sudutnya. Dalam ketergesaanku aku tidak mendapat cukup ketinggian, dan sekarang aku berada terlalu rendah, menggesek puncak-puncak pohon dan atap lancip dan kabel telepon, berkobar, sebuah roket! Otot-ototku membara, jantungku bak palu beton, paru-paruku terbakar. Aku melesat melewati ruko tersebut bahkan sebelum aku sadar aku berada di sana. Aku mengerem hati-hati, berbelok jauh, dan memutar balik. Satu Starbucks. Tidak. Terrlalu umum. Toko pisau. Tutup. Gelap. Computer Renaissance. Buka. Terang. Ada kemungkinan. Toko barang antik. Terang. Jendela setengah ditutup. Dua pria berjalan melintasi papan yang di atasnya tertulis tutup. Aku menggunakan kecepatan terakhirku untuk menderu di tempat parkir mobil. Tempat parkir itu penuh. Mobil ayahku ada di sana. Aku mendarat di bayang-bayang di belakang ruko. Aku mulai demorf. Bagaimana melakukannya? Bagaimana cara menyerang dan mengeluarkan ayahku dari situ? Morf apa, makhluk apa? Kakiku muncul duluan, pink dan telanjang dan besar, Mataku mengiringi hidung manusiaku yang membengkak, yang telah terbentuk terpisah dari paruhku yang menyusut. Aku makin tinggi sementara kaki-kakiku menebal dan bertumbuh. Rambut. Jari-jemari. Isi tubuhku mengeluarkan suara kumur-kumur dan slosh yang menjijikkan. Seekor osprey mendarat di krat yang terbalik. Aku sudah sepenuhnya manusia. Berdiri dengan kaki telanjang di atas aspal dan kaleng remuk dan gulma kering. Aku melirik Marco. Dia sudah mulai demorf. Aku mulai morf. Aku merasakan DNA harimau yang bertenaga teraduk di pembuluh darahku yang berdentum. Taring yang tajam dan berkilat muncul dalam mulutku. Cakar yang dapat merobek perut banteng tumbuh di ujung-ujung jariku. kata Marco. Aku masih lebih mirip manusia daripada harimau. Gigi kemuning, setajam pedang, membuat bicara kacau. “Aku ma masug!” kata Marco. Kami memandangi satu sama lain selama beberapa waktu yang menegangkan. Setengah harimau dan setengah osprey. Marco menjadi manusia sepenuhnya. Aku menghentikan metemorfosisku. “Begini,” kata Marco akhirnya, perlahan. “Aku tahu kamu panik tapi kalau kita mau membuat misi penyelamatan di sini kita semua mati. Kita semua. Semua orang. Para Yeerk bukan idiot. Mereka menyandera ayahmu dan tiba-tiba para Animorphs menyerang sebuah rapat minor? Mereka bisa menghitung dua tambah dua, Jake. Kamu biarkan para Yeerk tahu siapa kamu, Jake, bagaimana itu bisa menolong ayahmu?” Dia benar. Aku tahu tapi aku tidak mau mendengar hal itu. “Kita harus mengalihkan perhatian mereka. Kacaukan rapatnya tapi jangan biarkan mereka tahu kenapa,” ujar Marco sementara bulu tebal dan kasar mulai bermunculan dari tubuhnya yang membengkak dan bertumbuh. “Kita akan mencuri waktu dan aku sudah merencanakan segalanya. Morf jadi falcon lagi, sana. Matamu akan jadi lebih baik daripada mataku.” “Tapi – “ aku mencoba berkata. “Nggak ada tapi-tapian, Jake,” katanya. “Kamu kenal aku. Kamu tahu aku benar.” Aku ragu-ragu, frustasi, tidak terbiasa diperintah, tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa dia benar. Aku mulai kehilangan akal sehatku dan itu berbahaya. Menyerah, aku berkonsentrasi pada morf falcon. Marco menyelesaikan perubahannya menjadi sosok gorila yang besar dan berotot lalu menunggu, berdiri menjaga sampai aku selesai. kataku. ujar Marco, mengeretakkan buku-buku jarinya sementara dia berjalan ke depan jejeran ruko itu. Dia memijak lapangan parkir. Aku terbang, mengamati dari atas. Ayah dan kakakku berada dekat. Satu predator, satu lagi mangsa. Keduanya berada dalam bahaya besar, dalam maksud berbeda. Dan kalau mereka mau diselamatkan, itu tugas Marco, bukan tugasku. Chapter 6 Ada hal yang lucu mengenai gorilla. Mereka aslinya makhluk yang lemah lembut. Mereka tidak membuatmu menggigil ketakutan seperti kalau kau melihat kucing besar atau beruang. Paling sering kau melihat mereka sedang bengong dalam kandangnya di kebun binatang. Tapi mereka jadi jauh berbeda ketika mulai bergerak. Kau melihat satu gorilla raksasa berjalan cepat dan kau langsung mengetahui seberapa besar kekuatan yang dikandung makhluk yang sedang kau pelototi itu. Mirip manusia? Ya. Tapi manusia yang dicetak dari pabrik truk Mack. (Mack = Merek truk yang diproduksi di Amerika. Desain-desainnya keren kayak Optimus Prime) Marco berjalan menghampiri sebuah mobil. Menggeram, dia mengangkatnya lewat bemper depannya. Mencungkilnya lepas dari tanah, roda belakang melayang. Dan menjatuhkannya. WOOOEEEE! WOOOEEE! WOOOEEE! Aku hampir terbahak. Alarm mobil! Marco menghampiri mobil satunya lagi. Mengangkatnya. Menjatuhkannya. Satu lagi. Angkat. Jatuh. WEEEEYOOOOP! WEEEEYOOOOP! WEEEEY-OOOOP HONK! HONK! HONK! HONK! WaaaaAAAAAAaaaaaAAAAAAaaaaaAAAAA! Malam itu sarat dengan alarm mobil yang memekik, menjerit, dan bergemerincing. Lalu satu mobil yang terlihat familiar. Mobil yang kami berdua kenal. Mobil Chapman. Chapman, wakil kepsek kami. Pemimpin The Sharing. Seorang Pengendali. Musuh. Marco tidak mengangkat mobil Chapman. Dia meninjunya. Dia meninju pintu pengemudinya dengan kepalan tangan sebesar teko susu ukuran segalon. SHHHLUUUUUEEE! SHHHLUUUUUEEEE! Lalu dia menghantamkan genggaman besar dan berbulunya ke kap mobil baru ayahku. SPREEET! SPREEET! SPREEET! Aku berseru, ngeri. kata Marco. Lalu dengan cengiran yang hampir tak ditahan, Dia berlari ke perlindungan bayang-bayang. Dalam lima menit dia akan kembali mengudara. Waktu yang dibutuhkan hanya sekitar delapan detik bagi pintu-pintu di toko komputer, Starbucks dan toko barang antik untuk menjeblak terbuka dibarengi orang-orang yang amat berang. Chapman menyerbu dari toko barang antik. Bersama ayahku, dan Tom mengekor di belakang. “Apa yang terjadi?” “Para preman!” “Anak-anak bandel!” “Kompleks ini benar-benar – “ “Panggil polisi!” “Aku mau menuntut pusat perbelanjaan!” “Coba lihat pintuku!” Kalimat itu dilontarkan oleh Chapman. Pengendali lainnya dari toko barang antik terlihat tidak nyaman. Aku menunggu, menahan nafas, menghitung detik sampai ayahku, diikuti Tom yang kesal dan mengerinyit, menyeruak kerumunan. “Mobilku!” ayahku meratap. Dia benar-benar jatuh berlutut. “Ada yang menyakiti bayiku!” “Punyaku juga,” kata Chapman, memandangi cekungan sebesar-kepalan tangan di pintu mobilnya dengan sebal. Dia memandang sekeliling jalan itu, lalu mengangguk pada dua pria besar berotot yang mengiringinya. Mereka berpencar dan mulai menyelidiki jalan itu. aku memperingati Marco. < Well, ayo kalau begitu dude,> balas Marco. kataku. Aku meneliti wajah ayahku. Apa dia sudah menjadi seorang Pengendali? Bodoh. Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengetahuinya. Para Pengendali tidak berjalan kemana-mana sambil berkedut-kedut atau melakukan tos khusus Yeerk atau bermain dengan telinga mereka. Seorang Pengendali terlihat, berlaku dan berpenampilan persis normal. Ayahku bisa saja ayahku. Atau dia bisa saja sedang menjerit-jerit, tak berdaya, mulai menyadari bahwa mata dan telinga dan mulutnya tidak lagi miliknya. Aku menunggu. Lalu Tom memberikan sebuah petunjuk yang sudah kuharapkan. “Ayolah, Dad, tenanglah,” ujarnya, menghampiri ayahku. “Kita bisa menelepon dan lapor polisi setelah sampai ke rumah kalau kau mau. Ayo balik ke dalam, oke? Rapatnya baru saja mulai dan ada banyak hal penting yang akan terjadi malam ini. Kau nggak akan mau melewatkannya. Percaya padaku.” “’Balik ke dalam’?” Ayahku membeo, menatapnya seakan dia kurang waras. “Aku nggak akan kembali ke dalam! Seseorang sedang mencoba masuk ke dalam setiap mobil di jalan ini! Aku mau pulang sekarang dan menelepon Joe Johnson!” “Siapa?” “Dia agen asuransi kita, seharusnya kamu tahu, Tom. Ayo kemari.” “Tapi, Dad,” Tom memelas, melemparkan pandangan marah dan gugup ke arah Chapman, yang sedang berdiri di trotoar sambil menonton mereka. Lengkingan sirene mobil polisi menyibak malam. Chapman menggelengkan kepalanya sedikit. “Aku tinggal di sini sampai rapatnya selesai,” kata Tom masam. “Kalau begitu kamu harus sampai di rumah sebelum jam sepuluh.” Ayahku membuka kunci mobil dan masuk ke dalamnya. Mimik tegang dan dipenuhi oleh amarah yang sulit-tersembunyikan, Tom menyeret kakinya dan berdiri di sebelah Chapman di pinggir trotoar, memerhatikan ayahku berkendara pergi. aku berkata sementara seekor burung hantu mendarat tanpa suara di pinggir jalan. kata Marco. balasku, membiarkan indra-indra tajam si falcon membawaku dengan mudah ke rumah. ujar Marco, setelah beberapa saat. aku berkata. Pertarungan untuk menyelamatkan ayahku baru saja dimulai. Chapter 7 “Aku nggak percaya kamu mengambil resiko itu,” kata Rachel keras, mengerinyitkan dahi. “Kamu harusnya menunggu kami semua datang!” Sudah larut malam dan kami semua menelinap keluar untuk bertemu di gudang jerami Cassie untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tidak berjalan lancar. Aku tidak bisa berkonsentrasi, aku takut meninggalkan ayahku sendirian di rumah bersama Tom. Tobias bertengger tinggi di kasau. Marco tidak banyak bicara, tak seperti biasanya. Cassie mendengarkan, wajahnya dipenuhi kepedihan. Ax memandangiku dengan keempat matanya. Dan Rachel… Well, dia nyata sekali marah besar. Nampaknya Erek sudah menyampaikan berita soal pencarian ayahku pada Rachel, yang sedang berbelanja di mall. Dia sudah bergegas untuk membantu kami, menjejalkan barang-barangnya di locker sewaan. Dalam ketergesaannya, dia lupa mengunci pintunya. Setelah dia selesai morf, menemukan Tobias, dan terbang ke utara, rapat The Sharing sudah ditutup sepenuhnya. Mereka tidak menemukan apapun kecuali polisi yang sedang mencatat laporan vandalisme. Ketika dia kembali ke lokernya untuk mengambil barang-barangnya, seseorang telah mencurinya. Rachel yang murka itu menyeramkan, dan aku tidak akan iri pada si pencuri kalau Rachel sempat menangkapnya. “Kami nggak mau bertarung, kami cuma mau mengalihkan perhatian,” ujarku. “Kalau nggak begitu kami akan menunggu kamu datang.” “Aku tidak memandang Marco saat aku mengatakan hal itu.” Ax menyatakan dengan kalem. “Tepat sekali.” Tobias berada di kasau. Dia menggerakkan sayapnya. “Aku tahu,” kataku lelah. “Aku sudah berpikir mau membujuk ayahku untuk membiarkan Tom tinggal, tapi mustahil. Dia nggak akan membiarkan Tom menunjukkan tanda nggak hormat sama Kakek G.” “Masalah ini bodoh sekali,” kata Rachel. “Maksudku, tiba-tiba kita terlibat dalam pertempuran karena upacara pemakaman? Idiot sekali! Pertarungan ini kosong. Nggak ada untungnya buat kita. Yang bisa kita lakukan cuma membiarkan diri kita digilas habis.” Aku mengangguk. “Percaya padaku, aku tahu, Rachel. Memang tiba-tiba sekali.” “Harus ya empat hari,” Marco mengeluh. “Nggak bisa dua hari saja, yang bisa ditangani si Yeerk itu.” Ax bertanya. “Nggak. Aku nggak benar-benar saudara,” jawabnya, “Kakek G itu kakek buyutnya Jake dari pihak ibunya. Aku saudara dari pihak ayahnya.” Tobias menyela. Aku menatapnya. Kami semua menatapnya. Tanyanya, terdengar membela diri. Dia diam sejenak. Lalu, dengan malu dia berkata, “Kerabatmu egois semua dan mereka nggak berhak atas dirimu,” tukas Rachel. “Ayahku bilang kami harus pergi sekeluarga,” kataku. “Dan Tom tahu masalahnya akan jadi lebih runyam kalau dia langsung menentangnya seperti itu.” “Tentu,” Marco menjetujui. “Sulit mendapat sinar Kandrona kalau kau dikurung di rumah seumur hidupmu.” “Ditambah lagi, kalau dia berlaku benar-benar buruk, aku yakin orang tuamu akan mulai memandangnya dari sudut berbeda,” Cassie membubuhkan. “Mereka bahkan mungkin akan memutuskan kalau The Sharing punya pengaruh jelek dan akan menyuruh dia keluar dari situ.” Aku mengangguk. “Yeerknya Tom berperan sebagai anak SMA yang normal. Kesimpulannya, dia bisa mengikuti peraturan keluarga atau membuka penyamarannya. Para Yeerk mempunyap pilihan : Menjaga posisi Tom dan menjadikan ayahku Pengendali. Atau cabut Yeerknya Tom, taruh di induk semang lain, lalu bunuh Tom untuk membiarkan dia tutup mulut.” “Ada satu pilihan lain,” kata Rachel. “Yeah,” responku. Aku tahu. Hanya saja aku tidak bisa mengatakannya keras-keras. “Pilihan apa?” Tanya Cassie. “Kalau para Yeerk nggak bisa mengubah ayahnya jadi Pengendali secepat mungkin, mereka tinggal membunuhnya. Sebagai anak yatim penyamaran Tom nggak akan terpengaruh. Bahkan mungkin bertambah kuat,” Rachel menjelaskan. Lalu, menatapku lekat-lekat di mata, dia berkata, “Dan mungkin Tom sendirilah yang akan melakukannya." Chapter 8 Hanya ada satu jalan untuk melindungi ayahku. Pengintaian. Sejak saat dia pergi kerja di pagi hari sampai kami berangkat ke kabin hari Sabtu. Penjagaan dua puluh empat jam. Aku bisa melakukan sebagian besar tugas itu. Dia ayahku dan aku tidak terlalu yakin terman-temanku akan menjaganya sebaik aku walaupun aku tidak mengatakan hal ini karena aku tidak mau menyakiti perasaan siapapun. Aku memang menyetujui tenaga dukungan. Aku tahu aku tidak bisa berada di setiap tempat sekaligus. Pagi berikutnya Tom dipenuhi kata-kata manis dan kompromi. Dia keluar rumah lebih pagi dari biasanya, berkata bahwa dia akan bicara pada beberapa anak dari The Sharing sebelum sekolah. Untuk bertanya apa mereka mau menggantikan tugasnya. Bah. Aku menunggu sampai ayahku masuk kamar mandi, lalu menelepon sekolah minta izin karena ada anggota keluargaku yang meninggal. Untungnya, suaraku cukup mirip dengan ayahku. Aku turun ke bawah dan mengendap-endap di ruang keluarga di luar dapur. Aku mendengar suara-suara ayaku yang sedang bersiap pergi : menghirup kopi, mengecek beepernya seperti biasa, berseru “Ow!” karena tangannya terkena panggangan panas sewaktu mencoba mengeluarkan muffin Inggris dari sana. Bodoh sekali morf di ruang makan. Tindakan idiot. Tapi aku akan morf jadi kecoa dan aku tidak bisa berjalan jauh dengan enam kaki kecil itu. Lagipula, Tom sudah pergi. Dan ayahku tidak akan datang kemari. Aku berkonsentrasi pada sosok kecoa. Bukan morf favoritku. Bukan morf favorit siapa-siapa. Tapi aku butuh tubuh yang kecil, cepat dan bisa bertahan hidup. Mungkin lalat lebih baik tapi aku hampir tewas waktu jadi lalat dulu : seseorang menepukku dan menggencetku di rak barang sebuah pesawat. Kecoa lebih sulit dibunuh. Aku merasakan perubahannya mulai. Mengerikan sekali di saat-saat tertentu. Tapi berdiri di sana di ruang makanku, menyusut sementara kursi-kursi membesar, mengkeriut menyambut lantai kayu yang kau cungkil menggunakan garpu tanah sewaktu umurmu empat tahun, jatuh ke dalam bayangan meja dimana kau memakan sajian Thanksgivingmu… tingkat keanehannya bertambah. Aku menangkap pantulanku yang tak terduga di cermin sisi lemari ruang makan. Kulit wajahku sedang berubah cokelat, berkilat, keras. Aku memalingkan wajah. Kau tidak ingin melihat dirimu sendiri berubah menajdi kecoa: kau tidak mau melihat mulutmu terpisah menjadi bagian-bagian mulut serangga. Kau tidak mmau melihat kulitmu meleleh seperti lilin yang dibakar lalu membantuk pelindung yang keras dan kaku. Kau tidak mau menatap matamu sendiri ketika matamu bukan lagi mata tetapi ujung jarum pentul berwarna hitam yang tak punya ekspresi. Mungkin kau berpikir kami sudah terbisa dengan semua ini. Untuk diriku sih, tidak. Aku takkan pernah bisa terbiasa. Metamorfosis mungkin senjata yang luar biasa. Sekaligus kengerian yang tak terbayangkan. Tulang-tulangku menyatu. Diiringi suara desiran cairan. Sepasang kaki kecoa yang berbulu dan bergerak-gerak menghambur keluar dari tubuh seranggaku yang bengkak seperti salah satu adegan film Alien. Aku tidak terkejut. Mereka cocok dengan sisa-sisa lengan dan kakiku. (Alien = Film tahun 1979 ber-genre gore dan thriller) Antena yang panjang dan berambut tumbuh dari dahiku. Sayap-sayap kering dan berkilat-kilat melingkupi punggungku. Penglihatanku benar-benar terbatas. Tapi antenaku sedikit memperbaiki kekurangan itu. Kamu tidak bisa menjelaskan antena itu berfungsi sebagai indra apa sebenarnya, penciuman atau pendengaran, sepertinya gabungan keduanya. Tapi juga bukan salah satu dari kedua indra itu. Rencananya aku akan menumpang mobil ayahku. Tobias akan berada di udara, mencari termal untuk ditunggangi. Dari atas sana dia akan bisa mengamati hampir seluruh perjalanan ayahku dari rumah ke kantornya. Dua mil, berikan atau dapatkan. Tapi reaksinya akan lambat kalau terjadi apa-apa. Dia jadi cadangan, jika ada serangan akulah yang harus bertindak. Aku sudah sepenuhnya kecoa. Aku berputar seperti tank mini dan bergerak lewat bagian bawah pintu. Whoooom. Whoooom. Langkah-langkah kaki ayahku. Getaran dan embusan angin. Antenaku menangkap lokasinya. Aku melawan keinginan si kecoa untuk lari kabur. Whoooom. Whoooom. Telapak kaki sebesar pesawat terbang melayang di kejauhan redup. Tak masalah. Aku memiliki indra kecoa dan kecepatan kecoa bersatu dengan kepintaran manusia. Aku aman. Aman sampai aku siap untuk menumpang mobil. Ayahku memakai celana bermanset. Mansetnya. Itulah tempat untuk menempel, tentram sentosa. Hanya sedikit usaha dibutuhkan untuk sampai ke sana. Naik ke sepatu. Naik ke kaus kaki. Seharusnya tak ada masalah. Betul. Cahayanya berubah! Gerakan! Di atasku! Aku mengelak. BAMMMMM! Chapter 9 Sebesar drum-drum minyak yang biasa kau lihat di pinggiran kota . Sepuluh kali tinggiku. Berjuta kali berat tubuhku yang tak penting. Menghantam lantai linoleum seperti bom. Toples Smucker’s raspberry. (Smucker's rasp erry = merk selai) Toples itu membanting lantai seinci dariku. CRASH! Kacanya berhamburan. Gumpalan-gumpalan besar selai memuncah. Satu serpihan kaca yang mendarat di lendir adalah sebuah meteor Nerf di sampingku. (Nerf = merk mainan) Selai itu, bongkahan dua kali besar tubuhku, mengenai punggungku sementara aku merayap gila-gilaan untuk menyingkir. Kaki-kakiku mencakar membabi-buta. Tak terkendali! Otak si kecoa menjerit Lari! Lari! LariLari-Lari! Dalam kepalaku. Lendir itu menempel di kakiku. Aku tidak bisa bergerak! Aku mencoba melawannya, tapi keadaan malah jadi lebih buruk. Aku kehilangan keseimbangan dan berguling ke punggungku, keenam kakiku mendorong lem raspberry itu dengan panik. Biji-biji raspberry sebesar bola kaki menyelip di celah-celah armorku. Lalu kupikir ayahku melihatku. Karena dia mengumpat. Dan aku langsung tahu : Dia akan membunuhku. Pecahan kacanya! Menonjol seperti haluan kapal di gumpalan selai. Aku meraih ujungnya dengan salah sayu kakiku dan mendorong. Mengungkit. Sesuatu yang takkan dimengerti oleh kecoa. Tapi aku mengerti. Kaki kedua meraih satu kaca lagi. Pecahan itu akan menyayat daging manusia, tapi kaki-kakiku yang berupa ranting sama sekali tidak luka. Aku mendorong dan bergerak-gerak, mendorong, memuntir, berjuang keluar dari gumpalan cairan merah itu – WHAM Sang USS Nimitz mendarat di lantai beberapa millimeter di sampingku sementara aku menghela diri dengan segenap kekuatanku. (USS Nimitz = Kapal perang Amerika, salah satu yang terbesar di dunia) Aku mendarat di keenam kakiku lagi, tapi cairan itu menyelimuti seluruh tubuhku, memperlambatku, menyeretku sementara – WHAM! Sang USS Elsenhower mendarat beberapa millimeter di depanku. (USS Elsenhower =Kapal perang pengangkut pesawat militer ) “—kecoa!” Suara yang membahana berkata. “Selai di sepatuku!” Sebentar lagi kau akan punya Jake di sepatumu, aku berpikir. Aku hampir bersih dari selai itu, masih menggantung pada kaki-kakiku yang berduri. Aku masih belum bisa menarik diriku. Tidak bisa mendapatkan kecepatan. WHAM! Si Elsenhower lagi. Dinding sol sepatu, dua kali tinggiku, menampilkan diri di hadapanku dengan segala ketiba-tibaannya yang mengerikan. Aku mempersiapkan kakiku dan menerjang. Aku menangkap solnya. Aku menarik, aku mendorong, aku menggunakan segala energi yang berasal dari ketakutan kecoa serta kengerian manusia. Naik! Aku berada di sepatunya! “Kemana dia pergi, dasar…” Aku mencoba menyingkir dari pandangan. Aku berlari ke bayangan manset celana. “Aaarrrgghh!” Dia menggelegar dengan suara yang menggetarkan segala molekul udara di ruangan itu. Sekarang datanglah bagian dimana dia menari. Ayahku melompat-lompat dengan satu kaki, kaki tempatku berpijak, sementara mencoba melumatkanku dengan kakinya yang lain. Tak akan berhasil. Tidak sekarang. Aku sudah mendapatkan kecepatanku kembali. Aku memiliki cekungan dan permen cokelat bahan kulit yang disemir, warnanya sama dengan tubuhku, untuk menjadi lintasan lari. Berlari menuju tumitnya, tegak lurus dengan lantai, aku menghela. Sepatu yang satunya mendorongku, menendangku, meleset! Di tumit aku berbelok tajam ke kiri dan berlari vertikal. Naik di sepatu. Melewati bagian atasnya menuju kaus kaki katun yang lembut, semacam rumput yang berantakan, abu-abu, dan terpuntir dengan aneh. Aku terselubungi kegelapan sekarang. Tak terlihat oleh ayahku. “Kemana kau pergi?” Tuntutnya. Diam. Diam saja, Jake. Jangan bergerak. Jangan… selai itu manis sekali. Amat, sangat manis, dan otak kecoaku mendambakan rasa manis. Gula. Godaan terhebat. Dan gula itu masih menyelimutiku. Di kaki-kakiku. Di wajahku. Bagian-bagian mulutku bergerak. Aku dapat memakan gula yang menyenangkan itu dari kakiku… “Oh! Oh! Oh!” Ayahku menjerit. Dia merasakanku. Aku sudah bergerak. Sekarang aku dalam masalah. WHOMPF! Langit gelap jatuh dengan mendadak saat ayahku menampar kakinya sendiri. WHOMPF! WHOMPF! Jangan sentuh kulitnya! Aku memerintahkan diriku. Kalau aku menyentuh kulitnya ia akan benar-benar tahu. Dia tidak akan berhenti menyerang. Harus bertahan. Harus bersembunyi. Buat dia berpikir dia salah, bahwa dia tidak merasakanku. Celananya! Campuran wol abu-abu yang merupakan langit vertical itu. Itulah kuncinya. WHOMPF! Dia datang kembali. Aku meraih, menggenggam, dan langsung saja terangkat dari kaus kaki. Aku bergantung pada celananya. Tamparan-tamparan itu berhenti. Pelan-pelan bagian kaki celana itu diangkat. Tapi aku berada di lipatannya, tak terlihat. Bagian celana itu dijatuhkan kembali. Ayahku membereskan selai dan toplesnya yang berantakan, lalu menaiki mobil ke tempat kerja. Chapter 10 Tidak ada hal yang istimewa di perjalanan. Aku lega. Sepertinya aku tidak bisa lagi menerima ketegangan lebih dari itu. Di suatu tempat di atas mobil Tobias menonton. Aku tidak peduli. Aku merayap turun dan keluar dan bertengger dengan nyaman di mansetnya. Aku berada di kaki kiri jadi tidak terlalu banyak gerakan. Ax menunggu di lapangan parkir di gedung ayahku. Aku dapat merasakan mobilnya berbelok tajam, menaiki lintasan melingkar. Ax menganggapku pangerannya. Semacam cara Andalite menghormati seseorang. Aku butuh dua detik untuk mencerna. Ax mendengus. Aku ‘pangeran’nya Ax. Tapi soal hormat-menghormatinya cuma sampai segitu saja. Kami memarkir mobil. Aku menegang. Segala hal bisa jadi kacau lagi. Kakinya mengayun menyongsong udara yang lebih dingin dan cahaya yang lebih terang. Ayahku berdiri. Meregangkan badan. Mengambil tas medisnya dari bangku belakang. Lalu kami berangkat ke kantor. Mengayun ke depam… Crunch! Mengayun ke belakang. Mengayun ke depan… Crunch! Mengayun ke belakang. Tobias melapor. aku berkata. Di suatu tempat di atasku, tak terlihat oleh indra-indra kecoaku, ada seekor elang ekor-merah, dan jika Ax mengikuti rencana, seekor bangau. Ax melapor. Tobias menerjemahkan. Ayahku berhenti berjalan. Wooosh. Sebuah pintu terbuka. Kami maju. Pintu tertutup di belakang kami. Kami di dalam. Langsung setelah ayahku melangkah dalam kantornya aku turun dari celananya dan bersembunyi di bawah tong sampah dekat mejanya. Menunggu,. Tak ada ayunan panik yang mengganggu aliran udara. Bagus. Berarti dia tidak tahu aku sudah menumpang di mobilnya. Lantainya bergetar. Sesorang masuk ke dalam kantor ayahku. “Selamat pagi, Dok. Jadwal kita penuh hari ini. Banyak sekali yang kena infeksi telinga.” Sepuluh menit kemudian seorang anak masuk bersama ibunya. Aku menghabiskan hari itu berdesing dan menderu, menyelip ke dalam dinding dan memipih ke dalam celah-celah agar tidak terlihat dan diinjak. Setiap dua jam aku demorf dan remorf di kamar mandi. Pertama kali menegangkan sekali. Aku membuat catatan berantakan dari tisu toilet dan menempelkannya di bilik paling ujung dengan sebuah permen karet bekas. Tulisannya : RUSAK. Setelah itu aku merasa sedikit lebih aman dalam bilik rusak tersebut. Benar-benar membosankan. Tapi memberikan banyak waktu bagiku untuk berpikir. Terlalu banyak waktu. Aku mulai berharap krisis ini dapat memberiku jalan untuk menghancurkan Yeerknya Tom. Sekarang aku berharap aku bisa menyelamatkan ayahku dari takdir yang sama seperti yang dialami Tom. Aku bermain ke arah perlindungan. Lebih mudah untuk menyerang. Dalam menyerang kau bisa memilih waktu dan tempatnya. Dalam perlindungan kau hanya bisa menunggu. Menunggu sang musuh memilih waktu dan tempatnya. Dan perlahan mengikis sumber dayamu dan orang-orangmu selama menunggu, menunggu, mengetahui bahwa yang dibutuhkan hanyalah keberuntungan bagi sang musuh dan segala penungguanmu yang menegangkan dan menyesakkan akan sia-sia Ayahku tidak pernah menjadi dokterku. Aku pergi ke salah satu temannya. Memang, agak seram juga kalau tidak begitu. Aku selalu berpikir keren juga dia seorang dokter. Tapi sepertinya aku tidak pernah benar-benar berpikir tentang hal itu. Di hari ini, tak ada banyak hal untuk dipikirkan. Maka, aku berfokus pada ayahku. Selalu baik. Tidak pernah keras. Bercanda dengan anak-anak dan menenangkan ayah dan ibu mereka. Selalu kalem setiap anak-anak yang lebih kecil menjerit-jerit mengerikan dan menggetarkan setiap dinding. Dia orang baik, ayahku itu. Bukan hanya karena ia ayahku. Karena dia memang manusia yang baik. Karena dia melakukan pekerjaannya sebaik yang dia bisa dan tidak egois pada orang-orang di sekitarnya. Bukan berarti itu membuatmu jadi seorang santo atau apapun, tapi sepertinya kalau kupikirkan dalam-dalam, itulah yang kuharap bisa kulalukan setelah aku dewasa nanti: memperlakukan keluargaku dengan baik, melakukan pekerjaanku dengan baik, tidak egois pada orang-orang yang kutemui. Mungkin tujuan itu tidak besar dan ambisius, tapi sudah cukup bagiku. Aku sudah melakukan pekerjaan pahlawan-pahlawanan itu. Aku, aku mau suatu hari dimana apa yang harus kulakukan hanyalah hidup sebagai manusia yang menyenangkan. Hari itu panjang sekali. “Selamat malam, semuanya,” ayahku mengmumkan pada akhirnya. “Aku akan kembali hari Rabu paling lambat. Selamat berakhir pekan, Jeannie. Kau juga, Mary Anne. Jauhi masalah.” Derai tawa mengikuti kami ke pintu. Sekarang kami bergerak. Ayahku sedang keluar dari kantor. Kembali ke segala bahaya memungkinkan. aku memanggil. Kata Tobias khawatir. Tanyaku. Walau aku sudah tahu. Lantai dimana ayahku memarkir mobilnya, tentu saja. Tobias meyakinkanku. Ax juga. Berhenti sejenak di pintu. Lalu kami di luar. Antenaku bergetar pada pergantian udaranya. Tak ada waktu untuk demorf dan remorf. Jika si pria berjenggot akan menyerang, aku tidak berguna. Bukan siapa-siapa kecuali seekor kecoa dalam manset. kata Ax. Tanyaku. Aku tidak tahu. Jika seorang Andalite tiba-tiba mendatangi tempat itu untuk menyelamatkan ayahku, para Yeerk akan menambahkan dua dengan dua, menyadari seseorang yang dekat dengan Tom – contohnya adiknya- mengetahui rencananya, dan Animorphs akan tamat riwayatnya. Tapi dalam morf kami ini kami tidak berguna. Apa yang harus kulakukan? Kehilangan semuanya? Atau hanya ayahku? Chapter 11 Jika – Keluargaku atau teman-temanku. Selamatkan satu orang atau selamatkan dunia. Aku seekor serangga! Aku tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa. Penyelamatan terang-terangan akan menyelamatkan ayahku dan menghancurkan kami semua. Termasuk dia. Tanyaku. kata Tobias. Dia tegang. Aku tergesa-gesa ke atas dan keluar dari manset. Menuju kaki celananya. Berputar ke bagian belakang lutut. Kainnya mengekerut dengan tiap langkah yang diambil. Aku berada horizontal dengan lantai di bagian kanan. Aku tidak bisa melihat cukup jauh untuk bisa yakin, tapi sepertinya ada dinding besar dan gelap bergerak di belakang ayahku. kata Ax. Oke. Baik. Mungkin aku bertubuh serangga, tapi otakku manusia. Aku mengayuh ke kiri dan merayap vertikal. Naik di celana. Ke jaket. Naik di jaket. Melesat dengan kecepatan kecoa melintasi serutan serat-serat wol kering. Aku berhenti di lengkungan bahu. Sebuah telinga sebesar Nantucket mengambang di atasku. Makin dekat. Sang dinding hitam mendekat. Aku hampir dapat melihat sebuah wajah, buram, gumpalan meremang yang lebih besar daripada awan hujan. Tobias bertanya tajam. jawabku. Aku bergerak. Aku membuka sayap kecoa yang hampir tak berguna itu. Aku terbang lurus menuju jenggot itu. “Aaaahhhhh!” Pria itu menjerit. Aku mendarat di bibir bawahnya. Bulu-bulu kecil di kakiku menangkap dan mencengkram. Dia meludah. Ledakan angin ribut! Tapi aku berada di rambut dagunya sekarang, berjalan iseng dari rambut yang terpisah ke rambut terpisah lainnya, seperti aku sedang berjinjit di atas puncak-puncak pohon. “Ugh! Ugh! Kumbang!” dia berteriak. Kami mulai berputar dan berpusing. Dia menampar wajahnya sendiri. “Singkirkan itu dariku!” Aku berzig-zag ke kiri. Lalu ke kanan. Menuju telinganya. Kaki kecoa mungil menggelitik kulit telinga yang berminyak. Dia jadi liar. Aku terus melaju, menaiki kepalanya. Ke rambut yang tebal seperti karpet. “Apa yang… “Aku mendengar ayahku berkata dalam keterkejutan. “Permisi, Sir, tapi apa Anda baik-baik saja?” Pergi! Aku ingin memberitahunya. Lari, Dad! Lari dan selamatkan dirimu! Tobias berteriak. Aku membalas. Tiba-tiba, udaranya menderu dan beriak bersama hembusan sayap. “Tseeeeeer!” Tobias melayang turun, cakar keluar. Aku menangkap bayangan sekilas tetapi menakutkan tentang cakar yang menyayat. “Aaaahhh! Aaaahhh!” Pria itu memekik-mekik. Dia benar-benar memukuli kepalanya dengan satu tangan sementara satunya lagi melambai-lambai di udara untuk melawan elang gila dan bangau kurang waras. Hampir segera aku menyadari bahwa aku tidak lagi berada di pria itu. Aku masih di rambutnya. Tapi tidak lagi menempel di pria itu. Rambutnya… Wignya… sedang dibawa cakar Tobias seperti seekor tikus yang sekarat. Tobias memulai. Aku berteriak marah. kata Ax. aku memerintahkan Tobias. Dia melakukannya. Wig itu menghantam aspal dan pria itu menyambarnya dan membantingnya di kepalanya. Aku membebaskan diri sebelum dia melakukan itu, dan, dengan bantuan Tobias, merayap ke arah ayahku. “Burungnya pergi, kecoanya pergi, kau baik-baik saja,” ayahku berkata menenangkan. “Lupakan serangga bodoh itu! Lupakan burung yang bodoh dan tolol itu!” Pria itu berteriak. Dia jelas sekali kalap. Seekor elang berniat memungut kecoa dari kepalanya dan malah ikut menjambret wignya. Salah satu hal yang akan membuat mood-mu jadi buruk. “Apa itu mobilmu?” Pria botak itu menuntut. “Huh?” “Kubilang, APA ITU MOBILMU?!” Dia meraung. Seperti yang kubilang, kalap. “Ya,” ayahku berkata, terdengar kebingungan. “Kenapa?” “Karena diparkir di tempatku! TempatKU! Punyaku! Aku dari tadi menunggu orang yang selalu mengambil tempatku!” “Bagaimana tempat itu jadi milikmu?” tanya ayahku. “Tidak ada tempat yang punya tanda ‘dipesan’ disini.” “Aku sudah parkir disini selama dua tahun empat bulan! Itu tempatku! Aku tidak peduli berapa banyak burung… atau wigku… atau serangga…. Itu punyaku!” kata Ax. Tanya Tobias. ujar Tobias. Tak ada serangan. Perdebatan soal tempat parkir. Lucu, memang. Kecuali aku masih dibiarkan bertarung sebagai pihak yang kalah, pertarungan defensif. Lebih buruk lagi, aku sudah terpaku. Tobias dan Ax sudah meminta perintah dan aku hanya diam. Karena aku diam saja mereka melakukan tindakan yang salah. Salahku, bukan mereka. Akulah yang pegang tanggung jawab, dan mereka menanyakan apa yang harus dilakukan. Aku sudah ragu-ragu. Aku tidak memiliki jawaban. Tak ada yang terluka, kali ini. Tapi kalau serangan itu benar-benar serangan? Aku kelelahan. Ax dan Tobias juga lelah. Kekuatan kami menyusut, tetapi musuh sama sekali tidak kehilangan apa-apa. Serangannya masih akan datang. ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Chapter 12 Aku menyuruh Tobias dan Ax pulang. Kuberitahu mereka untuk beristirahat. Tobias menolak. Dia bilang dia akan memanggil yang lainnya, dan mereka akan melaukan pengawasan terhadap rumahku. Aku bersikeras mengusirnya. Kubilang untuk membiarkan yang lain beristirahat juga. Kenapa? Aku tidak tahu. Mungkin aku ingin menanganinya sendirian, kalau begitu tidak akan ada perintah yang harus diberikan. Dan tak ada pemikiran ulang. Ayahku masuk ke dalam garasi dan aku merayap pergi. Aku demorf di belakang garasi dan berlomba ke kamarku. Aku lebih dulu masuk ke dalam rumah. Begini, aku tahu rutinitasnya. Saat dia pulang dia akan berjalan ke trotoar rumah untuk mengecek surat dan berdiri disana sambil memilah-milah dan bergumam, “Sampah… sampah… oke, majalah… sampah.” Aku berada di tempat tidurku dalam beberapa detik. Selimut naik sampai ke daguku. Pura-pura sakit. “Jake?” Pintuku terbuka. Tom memunculkan kepalanya di kamar. “Apa?” Suaraku serak, jantungku berhenti berdetak. Aku tidak menyadari dia ada di rumah. Apa dia sudah di rumah selama aku demorf? “Kapan kamu balik?” “Ngapain kamu? Pura-pura sakit?” Si Yeerk di kepalanya memainkan perannya. Mengatakan kata-kata yang pasti akan dikatakan Tom yang asli. Aku memainkan peranku, juga. “Yeah. Mau tinggal di rumah dan nonton Jerry Springer.” (Jerry Springer = Presenter the Jerry Springer Show sejak 1994 yang bertemakan masalah individu dan keluarga. Karena pembawaaan acaranya yang buruk, acara ini pernah dinobatkan jadi acara terburuk di Amerika) “Uh-huh.” “Aku sudah lebih baik, sih. Kayaknya aku bakal bangun.” Dia memberiku tatapan jijik dan pergi. Aku memanjat turun dari tempat tidur dan berpakaian. Makan malamnya sup ayam untukku. Untuk ‘menenangkan’ perutku yang kacau. Ayah dan kakakku melahap masakan Cina. “Jam berapa kita pergi besok?” tanyaku. “Sekitar jam sembilan, jadi kalian berdua beres-beres hari ini dan jangan lupa bawa setelan kalian,” ayahku berkata, tak melihat kerutan suram yang muncul tiba-tiba di wajah Tom. “Aku sudah bicara dengan ibu kalian. Pemakamannya hari Senin dan kita pulang ke rumah Selasa pagi.” Tom mendorong kursinya ke belakang. “Aku sudah selesai,” katanya, berdiri dan beranjak pergi. Ayahku benar-benar mengacuhkannya. “Well, aku akan keluar dan menyiram halaman sekali lagi sebelum kita pergi.” “Aku akan cuci piring di dishwasher,” aku menawarkan, berdiri juga. Aku membilas piring-piringnya, memandang keluar jendela sementara ayahku menyeret selangnya dari halaman belakang ke halaman depan. Rumah begitu sunyi. Udaranya stagnan. Tom sudah menghilang ke dalam ruangannya. Aku menekankan wajahku ke jendela, meninggalkan noda hidung, dan mencari-cari di langit sampai aku melihat Tobias mengangkasa jauh di atas. Tetap mengawasi, walaupun aku tidak memintanya begitu. Dia terlihat begitu bebas di luar sana. Begitu tenang dan percaya diri. Aku meluruskan badan. Melihat sekeliling. Dan membuat keputusanku. Lima menit, kupikir, terburu-buru ke kamarku dan mengunci pintunya di belakangku. Aku akan melakukan pengamatan lima-menit dari udara. Cukup terbang sampai aku bisa mengendalikan diri lagi. Menenangkan diri. Aku tidak akan berguna kalau aku tidak bisa berpikir jernih. Aku melepaskan pakaianku dan memakai celana bersepeda, membuka jendela, dan berkonsentrasi pada morf peregrine falconku. Pola berenda menyebar di kulitku, melembut menjadi bulu-bulu. Jari-jariku meleleh bersamaan untuk membentuk ujung sayap sementara isi perutku bergejolak, bergeser dan berpindah. Tengkorakku tergiling dan menyusut. Penglihatanku menajam. Tubuhku mengecil, jatuh, menciut, bergoyang pada kaki-kakiku yang tiba-tiba berubah menjadi tongkat kurus. Angin berhembus sepoi-sepoi di jendela. Aku mengepakkan sayap dan melompat ke ambang jendela. Aneh. Bahkan setelah sekian lama, pemikiran bahwa aku akan lompat dari lantai dua masih menggangguku. Aku masih manusia, masih takut akan ketinggian, masih tidak yakin sayapku akan bekerja. Aku bertanya-tanya apakah Tobias juga merasa begitu. Aku merentangkan sayapku dan lepas landas, terbang melintasi halaman belakang, berhati-hati untuk menyingkir dari jendela kamar Tom. Aku menangkap sedikit angin sakal, cukup untuk memompa sayapku, dan mulai mencari ketinggian. Tobias memanggil dengan penuh selidik. kataku, terbang lurus dan melayang mengikuti arus udara. Mata falconku dapat melihat segalanya, termasuk seekor tikus yang merangkak di atas pagar seorang tetangga. Dan ayahku menyirami halaman. Aku menanyai Tobias. dia mengeluh. Aku tersenyum pada diri sendiri. Jawabannya tipikal Tobias sekali. Dia bertanya. aku mengakui. Tobias tidak mengatakan apa-apa. Aku memerhatikannya. Posisinya lebih tinggi daripadaku, mungkin sekitar dua ratus yard jaraknya. Tak ada jawaban. Aku mengikuti arah pandangannya. Satu mobil besar dan gelap, empat pintu. Aku memfokuskan penglihatanku. Apa penumpangnya memegangi sesuatu? aku berkata. jawabnya. Tobias berteriak. Chapter 13 Aku sudah menukik bahkan sebelum Tobias menyelesaikan kalimatnya. Mereka akan melakukan tembak-dan-lari. Gila. Penembakan di siang bolong? Sebenarnya seberapa penting Tom bagi para Yeerk? Ini ceroboh sekali! Aku jatuh… bukan, bukan jatuh. Aku adalah roket yang sebentar lagi akan bertubrukan dengan Bumi. Terbidik seperti peluru kendali pada rumahku sendiri. Mobilnya berbelok satu jalan lebih dekat dengan rumahku. Aku merentangkan sayapku untuk mengerem. Arus angin hampir saja mematahkannya. Aku menegangkan tiap otot, melebarkan tiap bulu. Aku mendarat, menggelincir di bagian belakang atap. Tak ada waktu untuk demorf di dalam. Aku akan mengambil resiko di luar sini, bergulung di sudut yang terlindungi bayang-bayang. Aku mulai demorf. Tobias berteriak. Aku bisa saja menjawab. Tapi tidak kulakukan. Tobias tahu apa yang akan kulakukan. Kata Tobias. Bulu-buluku meleleh. Lenganku menggembung. Paruhku melembut seakan dia sedang luluh. Aku harus merangkak untuk berpegangan dengan cakar yang berubah menjadi jari kaki manusia yang gemuk pendek. Tobias melaporkan suram. JANGAN! Demorf! Demorf! Demorf! Jari kaki… tangan… wajah… “Aaahhh!” Aku berteriak terkejut. Seketika saja, aku sedang meluncur di atap yang curam menuju pinggirannya. Tobias berseru. Jari-jariku gelagapan si atas sirap untuk mencari pegangan tapi tak banyak faedahnya. Kuku-kuku jariku benar-benar mencair. Aku terjatuh. Melewati pinggiran! Putus asa, aku meraih tempat saluran air besi yang tajam. Tergantung. Lengan terentang. Aku mencoba mengayun kakiku ke atas, keluar dari jarak pandang. kata Tobias. Suara Tom melayang keluar dari jendela. “Waktunya tepat sekali,” ujarnya dingin. “Dia di luar sendirian. Lakukan.” Aku terjatuh, menghantam rumput dengan bunyi ‘thud’ teredam, dan mengeretakkan gigiku untuk tidak bersuara. Aku merangkak melewati jendela, lalu berdiri dan berlari mengitari rumah. Mobil berwarna gelap berbelok ke blokku. Seratus yard jauhnya. Lima puluh. (1 yard = Sekitar 0,99 meter ) “Hei, Dad. “Aku terhuyung menghampirinya, berpeluh, jantung berdentum keras. “Biar aku yang lakukan.” Aku mengambil selangnya. Ayahku tersenyum. “Sukarelawan, nih? Jadi. Ada barang yang kamu mau?” Dua puluh yard! “Cuma mau keluar. Udara segar,” jawabku. “Unh. Well, thanks kalau begitu. Aku akan membereskan barang-barang.” Dia berbalik. Terlalu lamban! Dia berjalan. Terlalu lamban! Mobilnya berhenti. Jendelanya turun. Pria penembak memerhatikan punggung ayahku. Aku menyentak selangnya. Air menabrak sisi mobil. Penembaknya terlonjak ke belakang karena kaget; ayahku membuka pintu. Aku melambai ke mobilnya dan berkata, “Sori!” Mobil itu berlalu. Aku bernafas. Tanganku gemetaran. Jantungku seperti palu godam. Aku berlagak seakan aku tiba-tiba mengenali Mr. Chapman sementara mobil itu berjalan. “Hei, Mr. Chapman!” Aku melambai. Aku merasakan seseorang mengamatiku. Aku melirik cepat. Tom. Terbingkai oleh jendela ruang keluarga kami. Matanya terbakar amarah. Dia pasti akan membunuhku juga. Dia akan menembak ayahku dan kalau saja aku menghalangi… Dan itu bukan bagian terburuk dari segalanya. Yang terburuk adalah aku tahu bahwa kakakku Tom, kakakku yang asli, terperangkap di dalam pikirannya sendiri, terperangkap sementara menyaksikan si pembunuh mempersiapkan pembantaian terhadap keluarganya. Tak berdaya, hanya bisa menonton, tak bisa membuka mulutnya untuk meneriakkan peringatan. Aku mencengkeram selangnya begitu keras sampai airnya setengah tersumbat. Tapi aku tidak bisa mengendurkan otot-otot itu. Tidak bisa. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa perang ini nantinya. Tidak tahu apa kami akan menang atau kalah atau bahkan, entah bagaimana, membuat kesepakatan dan berdamai. Tapi aku tahu satu hal: aku akan membunuh si Yeerk yang sudah melakukan ini kepada kakakku. Aku akan membunuhnya. Chapter 14 Kami berkumpul di gudang jerami Cassie. Semua anggota kami kecuali Ax dan Rachel. Mereka mengawasi rumahku. Ayahku akan aman dengan dua orang itu. Tobias dengan tenang, tanpa mempersalahkan, mengisahkan apa yang telah terjadi pagi dan siang itu. “Bodoh,” kata Marco. “Aku nggak percaya kamu mengambil kesempatan seperti itu, Jake!” Kata Cassie marah. Cassie tidak pernah marah, tapi sekarang dia marah. “Apa kamu sengaja mau ditembak?!” “Tentu nggak,” balasku, berkontak mata dengannya. “Tapi apa lagi yang harus kulakukan? Membiarkan mereka membunuh ayahku?” “Bukan itu intinya,” kata Marco, semarah Cassie, tapi sedikit lebih dingin. “Kamu demorf di tempat terbuka. Dan kata Tobias hanya masalah beberapa detik sebelum kamu berakhir kena senapan mesin di halamanmu sendiri.” “Alternatif lain membiarkan mereka menembaki ayahku.” “Jadi kamu pikir mereka bisa sekalian membunuhmu juga?” “Berhasil kok!” sergahku gusar. Marco melemparkan tangannya ke atas dengan jijik. “Kenapa kamu nggak minta bantuan? Tobias bilang kamu suruh dia dan Ax buat pergi dan menyuruh mereka untuk tidak memanggil salah satu dari kami,” kata Marco. Dia bersandar di setumpuk jerami. Bersandar, tapi sama sekali tidak rileks. “Kita seharusnya kerja di masalah ini sama-sama. Kalau kamu butuh bantuan, kamu seharusnya minta.” “Yeah, aku tahu,” kataku. “Tapi kalian semua lagi sekolah waktu kami pergi pengamatan dan malam ini, well, aku sama sekali nggak akan mengira Chapman mau melakukan tembak-dan-lari, tahu.” “Kesalahan di pihakmu,” ujar Marco. “Yeah. Kesalahan.” “Dan hari ini, sebelum itu? Tobias bilang kamu diam waktu dia minta perintah.” “Aku nggak diam, aku – “ “Kita nggak bisa kasih kamu kesempatan buat mematung begitu,” ucap Marco. Aku menatapnya marah. “Kamu menikmati ini, iya kan? Kamu mau membalas waktu aku sangsi soal ibumu.” “Waktu itu aku siap melakukan apa yang harus dilakukan,” kata Marco. “Aku juga!” “Nggak. Kamu nggak. Kamu membahayakan kami semua. Kamu demorf di atapmu! Di atapmu! Siang bolong. Dengan kakakmu di rumah! Kalau Tom melihat kamu melakukan itu kamu akan sudah setengah jalan menuju kolam Yeerk sekarang, dan kami semua berjejer di belakangmu!” “Kenapa sih kalian semua?!” aku berteriak. “Itu ayahku! Ayahku! Aku harus berdiri saja dan nggak ngapa-ngapain?” Tobias menjawab sebelum Marco. ujarnya sendu. Aku memalingkan pandangan. Wajahku terbakar. “Kamu tahu, kita sudah bicara soal ini dan kita memutuskan melakukan pengamatan. Kita mengamati ayahku kalau-kalau dia butuh perlindungan. Well, dia butuh dan aku bereaksi. Memangnya apa yang benar-benar kalian pikirkan akan kulakukan?” “Persis seperti apa yang kaulakukan,” kata Marco. “Kamu terlalu dekat dengan masalah ini. Kamu nggak bisa mengambil keputusannya.” Aku tertawa kering. “Jadi apa, kamu yang akan memutuskan ayahku hidup atau mati?” aku memandang Cassie. “Jake…” ujarnya. “Kamu harus mundur dari masalah ini,” kata Marco tenang. “Kamu nggak bisa mengambil keputusannya. Nggak kalau ini tentang ayahmu dan kakakmu.” “Kamu melakukannya waktu itu soal ibumu,” tukasku. Marco mengangkat bahu. “Yeah, well, itulah aku. Kalau bakal sedikit membuatmu senang, aku lebih suka kalau aku sepertimu. Tapi pertanyaannya disini ialah, seberapa jauh kita harus bertindak untuk melindungi ayahmu?” tanya Marco. “Dan siapa yang akan mengambil keputusannya?” “Aku pemimpin kelompok ini,” aku berkata. Marco ragu-ragu. Dia menggigit bibirnya. Lalu, menghirup nafas dalam-dalam, dia berkata, “Kita butuh voting.” “Rachel dan Ax nggak di sini,” aku berkata. kata Tobias. “Rachel akan mendukungku,” aku berkata Marco mengangguk. “Yeah. Dia akan begitu. Kalau begitu terserah Cassie dan Tobias.” Aku tidak memandang mereka berdua. Aku menunggu Cassie berbicara. Tapi dia tidak melakukannya. Sunyi. Aku merasa tanah di bawahku sedang runtuh. Cassie meragukanku juga? Cassie tidak berpikir aku bisa menangani hal ini? Aku mendengar bunyi keresakan bulu di kasau dan menoleh ke atas. Tobias menelengkan kepalanya, pandangan elangnya yang ganas bertemu dengan pandangan manusiaku yang marah. Akulah yang pertama kali mengalihkan pandangan. Tobias sudah ada di sana dua kali saat aku mempertaruhkan nyawaku – dan nyawanya – untuk menyelamatkan ayahku. Dia tahu seberapa pentingnya itu bagiku dan dia tahu seberapa jauh aku akan bertindak untuk melakukannya. ujar Tobias pelan. Cassie mengangguk. Dia telihat terganggu. Seakan dia seharusnya memikirkan hal tersebut. Tobias melanjutkan. Terima kasih, Tobias, pikirku dalam diam, memandangi tanah. dia meneruskan, merentangkan dan melipat sayap-sayapnya kembali. “Persis,” kata Marco. Marco bimbang. Dia tahu suara sudah tidak memihak padanya. Paling buruk dia punya Cassie di pihaknya. Dua lawan tiga, tidak menghitung Ax. Akhirnya Marco mengangguk. “Oke, kita pergi menyerbu.” Dia mencoba mengeluarkan humornya yang biasa. “Aku selalu ingin mati sambil menendang dan menjerit-jerit.” Dia melangkah mendekatiku. Dia mengulurkan tangannya. “Bukan masalah pribadi, Jake. Aku cuma mau menjaga grup kita.” Aku membiarkan tangannya menggantung di tengah udara. Setelah beberapa saat dia menariknya kembali. “Jadi, apa rencananya?” ujar Cassie, mencoba menghalau perseteruan saat itu. “Mungkin kita bisa berpikir soal – “ Marco memulai. “Aku punya rencana,” kataku. Chapter 15 Apa aku punya rencana? Tidak sampai detik itu. Tidak sampai aku benar-benar bertatap muka dengan Marco dan menyadari aku harus menciptakan sesuatu. Harus. Terkadang emosi bekerja untukmu. Kami membutuhkan pengalih perhatian. Pengalih perhatian di pikiranku itu besar. Dan kuharap bisa bertahan sampai aku bisa membawa ayahku keluar kota. “Culik Chapman,” aku berkata. Itu membuat Marco melotot. Membuat Cassie menahan nafas. Tobias tertawa seakan aku bercanda. Lalu dia seperti mengerang. Dan dia tertawa lagi lalu berkata, < Well, aku akan mengatakan satu hal : Ini akan membuat Rachel senang.> Rencana yang menantang? Ya. Gila? Bunuh diri? Bodoh? Kuharap tidak. “Memaksa para Yeerk untuk memutuskan prioritas mereka,” kata Marco. “Selamatkan Tom atau Chapman? Siapa yang lebih penting bagi mereka? Chapman. Mereka masih akan mencoba menolong Tom dengan situasi seperti itu, tapi Chapman yang hilang akan menjadikan situasi benar-benar gawat. Pasti berhasil.” Puji Marco untuk satu hal : Tak ada yang bisa lebih cepat dalam untuk melihat solusi kejamnya. Dan Marco itu jujur. Tak akan jadi misi yang bagus. Kami tidak punya waktu berlemah-lembut. Kami bertemu dengan Rachel dan Ax lalu menjelaskan rencananya. Rachel berkata, “Cool!” Aku meninggalkan Cassie dan Tobias untuk menjaga rumahku. Aku tadinya juga mau meninggalkan Marco, tapi dia akan mengira aku takut dia berada di dekatku. Aku tidak akan memberinya kepuasan itu. Rachel, Ax, Marco dan aku terbang ke sebuah rumah di seberang jalan dan mendarat dari rumah Chapman di jalanan pinggiran kota yang lengang. Gelap. Belum terlalu malam, tapi gelap. Dua puluh menit lagi ayahku akan bertanya-tanya mengapa aku tidak di rumah. Sama dengan yang lainnya. Rumah itu dijual. Tak berpenghuni. Semak-semak belukar tumbuh tinggi dan tak terurus. Sempurna bagi kami. Hampir terlalu luas awalnya. Tidak begitu lagi sementara kami morf. “Minggir sedikit, Marco,” Rachel menggerutu sementara bahunya menggembung dan berotot menjadi sosok besar gorilla. “Oh, ayolah, kamu suka dekat-dekat aku, kan?” Dia melirik tepat sebelum rahangnya tumbuh mencuat dan bibirnya berubah menjadi topeng Halloween empuk yang hitam bagaikan karet. Aku menutup mataku dan berkonsentrasi pada morfku sendiri. Badak. Untuk pekerjaan ini kami butuh kekuatan yang brutal dan jelas. Dan tak ada yang lebih jelas daripada seekor badak. Aku mendengar tulang tipis manusiaku berkeretakan dan berpisah satu sama lain. Mendengar sebuah suara seperti gigi yang bergesekan sementara tulang baru, lapisan dan lapisan dari tulang baru, memenuhi celah-celahnya dan membuat pelindung yang nyaris tak dapat ditembus. Tubuhku menebal. Kakiku, lenganku, tangan, kaki, perut dan bahuku, semuanya menebal. Kulitku menebal dari daging manusia menjadi sesuatu yang menyerupai kulit jok mobil sampai menjadi sesuatu yang sekeras dan sepadat dan sekaku sadel kuda. Telingaku merayap masuk ke dalam sisi-sisi kepalaku. Penglihatanku meredup dan memburam. Leherku kehilangan segala definisinya, terhisap masuk ke dalam tubuhku yang melebar dan membesar. Membesar. Membesar. Besar. Lalu, pada akhirnya, tanduk. Tumbuh dari wajahku, turun ke tempat dimana hidungku seharusnya berada. Panjang, melengkung, berbahaya. Senjata yang primitif dan tumpul. Sebuah tanduk yang dapat saja menyula ksatria berbaju zirah. Tapi dibalik tubuh tangguh, tanduk yang mengerikan, kekuatan seekor badak, pikirannya begitu damai, tenang. Badak hanya ingin makan dan dibiarkan mengurusi urusannya sendiri. Dia waspada tapi tidak ketakutan atau marah. Tidak apa-apa. Aku menyimpan cukup banyak ketakutan dan kemarahan bagi kami berdua. “Pangeran Jake, aku sudah siap. Si-aaaap. Aaaaap,” kata Ax. Dia sudah morf menjadi manusia, menggunakan kombinasi DNA yang sudah dari dulu dia serap dari kami semua. Tapi dia sudah menghentikan morfnya setengah jalan, membuat wujudnya susah dikenali sehingga Chapman tidak akan bisa mengenalinya lagi nanti. Dalam morf manusianya yang biasa, Ax adalah anak yang aneh sekaligus cantik. Sekarang, dengan mata yang lebih sipit, hidung lebih besar dan pesek, dan rambut lebih gelap dan tidak rapi, dia malah terlihat mirip Quasimodo. Tidak terrmasuk bongkoknya, sih. (quasimodo = Si Bungkuk dari Notre Dame) kata Marco. Aku menyela, melengkungkan telingaku ke setiap bunyi baru dan mengendus udaranya. Marco menjawab. Aku tidak tertawa. Aku tidak menganggap Marco lucu pada waktu itu. Aku merindukan Tobias. Kami tidak punya siapapun di udara, dan kami harus menyeberangi jalanan. kata Rachel tidak sabaran. aku memerintahkan. Ax mulai menyeberangi jalanan. Sunyi senyap. Aku mendengar langkah kaki telanjang manusia dan langkah kaki telanjang gorila. Aku melihat bentuk-bentuk, bayangan, beberapa hal kecil lainnya. Tapi pendengaranku baik sekali. Aku tidak mendengar mobil yang mendekat. Marco berjalan semirip mungkin dengan manusia sebisa dia. Manusia seberat empat ratus pound. Setelah sampai di seberang dia menyelip ke dalam semak-semak di sebelah serambi. Ax berjalan ke serambi itu dan mengetuk pintunya. Kami menunggu selama beberapa detik. Pintu mengayun terbuka. Chapman berdiri di sana, menggenggam sebuah koran dan terlihat kesal karena diganggu. “Halo, apa Melissa di sini? Diih-senii? Aku temannya Melissa? Aku datang kemari untuk berbicara dengannya menyangkut masalah tugas kelas. Keh-las,” kata Ax ceria, kurang lebih mengikuti naskah yang sudah kami persiapkan. Chapman memandangi Ax dengan tajam dan mengerinyitkan dahi. Dia menghela nafas. “Tunggu di sini. Akan kupanggil dia.” “Baik,” kata Ax. “Dia adalah teman dekatku sekaligus juga teman sekelasku dan berarti hal ini adalah hal yang benar-benar normal bagiku untuk dilakukan.” Chapman memandanginya sekali lagi dan masuk ke dalam untuk memanggil Melissa. aku berbisik. kata Ax. kataku sementara adrenalinku mulai memompa. kata Rachel suram. Pintu depan terbuka dan Melissa melangkah keluar. Pintu tertutup di belakangnya. Dia melihat Ax dengan bingung. Sebelum dia dapat mengatakan sesuatu, dua lengan gorila yang besar dan berbulu menjangkaunya dari atas pagar luar dan mengangkatnya dari tangga teras menuju semak-semak. “Aaahh!” Dia menjerit sebelum tangan lebar itu membekap mulutnya. Melissa tidak bersalah. Dia tidak perlu melihat apa yang akan terjadi setelah ini. Marco berteriak. aku berteriak. Chapter 16 Aku merekah dari balik semak-semak. Rachel berada tepat di sebelahku, bergerak dalam gaya berjalan yang kecepatannya menipu, bergulir khas beruang grizzly. Ax melompat dari serambi dan menggelinding di bayang-bayang untuk demorf. Aku melintasi halaman yang tidak terurus, memfokuskan penglihatanku yang redup ke lampu serambi di seberang jalanan. Tapi sementara kepalaku yang besar berayun ke kiri dan kanan, aku kehilangan jejak. Cahaya! Dimana-mana! Ada di… teriak Marco. Aku merubah arah. Menyeberangi aspal keras jalanan. Mobil! Lampu kembar mengarah kepadaku dari sisi kiriku. Screeeeeeech! Pengemudinya menghantam rem. Aku mengacuhkannya. Terlalu terlambat untuk khawatir soal hal itu. Hancurkan, ambil, dan lupakan dengan halus, aku mengingatkan diriku sendiri. Aku tersandung sementara kaki-kakiku yang tebal dan seperti batang pohon membentur tangga serambi. Marco berteriak. Aku menghempas, kecepatan penuh, acuh-tak-acuh, tanduk turun terarah kepada pintu. WHAM-CRUNCH! Pintunya meledak ke dalam. Bingkainya robek. Dempul dan cor menyembur kemana-mana. “HHROOO-UH!” Rachel mengaum, tepat di belakangku. TSEEEEW! TSEEEEW! Rasa sakit yang panas dan menyiksa. Bau daging dan bulu yang mendesis menguap. Sinar Dracon di patung itu menembak lagi, membakar lubang hitam dan berasap lainnya di kulitku yang terlindungi. Sudah cukup sakit untuk membuatku tambah gila. Sekarang otak badaknya juga marah. Aku menerjang ke depan, melewati ambang pintu, menghantam dinding di sisi berlawanan dan memukul jatuh patung pelindung-sinar-Dracon Crash! TSEEEW! Benda itu menembakkan satu lagi tembakkan yang membakar dan menyakitkan ke atas perutku sebelum aku menghancurkannya dengan kakiku. Mrs. Chapman berlari keluar dari dapur. “Andalite!” Dia memekik dan mengangkat senjata Dracon tepat di mukaku. TSEEEEEW! Panas manyebar di dahiku, telingaku, mengebor lubang yang meleleh ke dalam otakku sendiri, dan aku terhuyung, melenguh sementara rasa sakit seperti palu godam mengayunku. Badaknya terluka. Parah. "GRRROOOWWRRR!" Rachel mengaum. Dengan kepalan tangan seukuran kepala manusia dia memukul Mrs. Chapman dan melemparkannya ke dinding. Wanita itu membentur dinding, mengerang, lalu merosot ke lantai, keluar dari pertarungan. Sekelebatan bulu biru dan Ax bergabung dengan kami. tukasku. Aku terhuyung. Badak itu sudah mendapat tembakan di kepala. Dia sekarat. Sambungan antara otak dan tubuh sudah mulai luntur. Aku menghitung sampai sepuluh. Marco melaporkan dari luar. Aku menghambur ke ruang keluarga. Ambang pintunya terlalu sempit. Aku melebarkannya. Aku meremukkan sofa dan meruntuhkan meja kopi seakan benda itu terbuat dari tusuk gigi. Melewati ruang keluarga. Melewati pintu-pintu Perancis. Melewatinya secara harfiah. Chapman jatuh ke bawah di sebelah kananku. Marco berada di sana. Meraih Chapman dengan – BLAM! BLAM! BLAM! Chapman menembakkan pistol tangan. Teknologi buatan manusia yang primitif. Marco jatuh tepat di belakangnya. Dia menghantam tanah. Chapman melompatinya Rachel berseru. Sebuah sosok Andalite melayang di atas kepalaku dan mendarat keras di rerumputan. Ax sudah turun dari jendela lantai dua. Perintahku. Chapman sedang memanjat pagar belakangnya. Aku menghantam papan-papan kayu itu dan membuatnya terbang. Dia berguling ke punggungnya lalu menembak. BLAM! BLAM! Pukulan palu yang terhubung dengan tenggorokanku. Aku tertatih, menabrak Ax, membuatnya kehilangan keseimbangan. Chapman kembali berdiri dan berlari melewati pagar yang hancur itu. Aku sudah terluka, berdarah, oleng, mencoba mempertahankan kesadaran. Dan bergantung, paling nyata, pada kemarahan. Makhluk ini sudah mencoba menembak ayahku. Aku menabraknya. Dia melayang, menghantam tanah, lalu berguling, merintih. Pistolnya berada lima kaki jauhnya, Aku mundur selangkah. Melucutkan kepalaku. Membaui udara dan membidik sosoknya yang sedang mengerang dan tak terlindungi. Matilah kau, Yeerk. Aku menerjang. Rachel berteriak. Tadinya aku ingin menyeret Chapman di tanah. Menginjak-injaknya, meremukkannya, menancapkan tandukku te tubuhnya. Aku melihat kengerian di matanya sementara dia mulai menyadari apa yang hendak kulakukan. Ax berseru. Aku menerjang. Lalu, akhirnya, semua luka-lukaku terlalu membebani. Seakan seseorang sudah menyayat kakiku, aku roboh. Aku meluncur ke arah Chapman. Chapman mencoba bangun. Ax memukulnya dengan sisi pisau ekornya. Chapman jatuh, tak sadarkan diri. Aku berpusar, berpusar turun ke lubang yang hitam. Harus demorf. Demorf. Gelap sekali… cukup gelap sampai-sampai Marco tidak akan bisa mengatakan… Marco. Apa aku sudah membunuhnya? Melissa pasti telah berusaha melepaskan bekapan dari mulutnya. “Ibu? Ayah, kalian dimana!?” Melissa Chapman meratap. Chapter 17 Aku demorf diiringi suara tangisan ketakutan Melissa dan raungan sirene mobil polisi yang mendekat. Aku berdiri, lelah, bingung. Rachel ada di sana, manusia. Ax tidak ada. Marco… Marco membungkuk dan mengangkat Chapman ke atas bahunya. “Kamu oke?” aku menanyainya. jawabnya ringkas. Kami bergerak. Rachel dan aku mencoba melindungi Marco dari perhatian sebaik yang kami bisa. Kami berlari menyeberangi jalan dan turun. Kembali ke rumah “Dijual” yang tak berpenghuni itu. Kami akan menyekap Chapman di tempat yang tidak akan diduga seorangpun : Sekitar dua ratus yard dari rumahnya sendiri. Ax sudah memutuskan alarm pencurinya ketika kami sampai di sana. Pintu belakang sudah terbuka. Kami bergegas masuk. Marco menjatuhkan Chapman tanpa basa-basi di ruang keluarga yang kosong dan berlantai kayu. Lalu dia menjulurkan kepalan tangannya menembus kaca yang menghubungkan ruang makan dan ruang keluarga. Serpihan kaca menghujani Chapman. Dengan jari-jari Andalitenya yang lemah tetapi tangkas, Ax mengikatkan sebuah kain di sekeliling mata Chapman. Tali-temali di sekeliling pergelangan tangan dan kaki. Kami berdiri di sana, menoleh ke bawah memandanginya. Dia berada di dalam kekuasaan kami. Untuk saat ini. “Kalau dipikir-pikir – “ Rachel mulai angkat suara. Aku menggelengkan kepalaku dan meletakkan jari di bibirku. Dia sama sekali tidak boleh mendengar suara manusia. ujar Ax. Marco membungkuk dan menyodok Chapman dengan jari sebesar sosis bratwurst. Si Pengendali tidak bereaksi. Aku berjalan ke dapur. Menemukan sebuah kaleng kopi yang pernah digunakan seseorang untuk menyimpan kacang dan sekrup. Aku mengisinya dengan air dingin, kembali ke ruang keluarga, dan menuangkannya di wajah Chapman. Dia tertegun dan menyumpah. Lalu dia mencoba menggerakkan tangannya. kata Marco, melangkah mundur. Rachel dan aku tetap diam. Ax berjalan ke depan, kuku-kukunya berkeletokan di lantai kayu yang polos, mengelilingi Chapman dengan sengaja, membiarkan dia mendengar bahwa orang yang menginterogasinya adalah seorang Andalite. dia mencibir meyakinkan. Chapman mulai gemetaran. Dia merengek, pelan dan rendah. Aku tidak memandang Rachel; dia tidak memandangku. Tak satu pun dari kami senang akan hal ini. Kami harus membuat Chapman berpikir bahwa dia diinterogasi oleh seorang prajurit Andalite. Kami harus membuatnya berpikir dia akan disiksa. Beberapa saat sebelumnya aku berniat membunuhnya. Bahkan sekarang, aku sama sekali tidak merasa kasihan padanya. Tapi hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa kami sedang mencoba menakut-nakuti sesama makhluk hidup yang memiliki perasaan. Kalau kamu jenis orang yang tidak akan pernah melakukan hal itu, kamu butuh bantuan. Aku sedang menuntut hal yang besar dari Ax. Terlalu besar. Tapi dia bertekad untuk memainkan perannya kata Ax dengan keangkuhan Andalite yang dilebih-lebihkan. Chapman menggigil tetapi tetap berdiam diri. Ax meraung. Tak ada jawaban. kata Ax, mengubah strategi dan menggunakan suara bahasa-pikiran yang lembut dan mematikan. Aku sudah melihat dan mendengar lebih dari cukup. Aku menyentakkan kepalaku ke arah pintu. Rachel dan Marco mengikutiku. Marco demorf sambil jalan. Kata-kata Ax sudah menyulam bayangan yang suram dan mengerikan di pikiranku. Kematian yang dia janjikan secara palsu pada Chapman adalah kematian yang akan diderita kakakku Tom, karena Yeerk di kepalanya akan diputuskan dari akses ke sinar Kandrona. “Jake?” bisik Rachel setelah kami sampai di luar. Aku menggelengkan kepalaku. Tidak bisa menjawab. Aku berjalan menuju rumah melewati kerumunan tetangga dan polisi dan mobil darurat yang sudah berkumpul di sekitar rumah Chapman. Sejauh ini, rencananya berjalan lancar. Ax akan terus menginterogasi Chapman. Mungkin bersikap kasar terhadapnya. Kesinilah kemana aku memimpin mereka. Marco hampir terbunuh. Melissa Chapman diteror. Dan Ax tinggal untuk merajut cerita-cerita mengerikan kepada seorang sandera yang tidak berdaya. Marco tidak perlu lagi meminta voting. Aku sudah selesai menjadi seorang pemimpin. Chapter 18 Aku berbaring nyalang semalaman penuh. Tegang. Mendengarkan. Aku mendengarkan suara-suara yang berdatangan dari kegelapan. Menunggu Tobias yang sudah bertengger dua jam yang lalu di pohon dekat jendelaku, untuk tiba-tiba berseru Tidak terjadi. Jam 3.30, aku turun dari ranjang, berhati-hati untuk tidak menginjak bagian yang berderit di lantai, dan berjinjit ke koridor. Pintu kamar ayahkku setengah tertutup. Aku mengintip ke dalam. Dia sedang tidur, sinar bulan menyala di mukanya. Aku terus menyusuri koridor. Pintu kamar Tom tertutup. Aku menahan nafasku dan menempelkan telingaku ke pintu. Tidak ada apa-apa. Telapak tangan berkeringat, aku mencengkram gagang pintunya dan tanpa mengguncangnya, perlahaaaaaan aku membukanya. Ranjang Tom kosong. Aku menggigil. Menutup pintu dan bergegas ke kamarku sendiri. Kakakku pergi. Mungkin sedang keluar bersama para Pengendali lainnya, panik mencari Chapman. Tobias pasti sudah melihatnya pergi tapi tidak ingin membangunkanku. Aku memanjat ranjangku kembali dan berbaring di sana, mata terbuka lebar-lebar dan mendengar suara-suara rumah. Bertanya-tanya apa yang sedang kakakku lakukan. Apa yang sedang dia rasakan. Dan membayangkan seberapa kalutnya para Yeerk mencoba menemukan Chapman. Betapa ketakutan dan putus asanya Yeerk Tom sekarang, mengetahui bahwa tiba-tiba dia diletakkan di prioritas kedua. “Apa kamu ketakutan, Yeerk?” Aku berbisik pada kegelapan. Aku membayangkan bagaimana perasaanku seandainya teman-temanku meninggalkanku ke tangan para Yeerk untuk menyelamatkan seeseorang yang lebih penting. Bukan perasaan yang menyenangkan. Dan bagaimana dengan Tom yang asli di dalam? Apa yang sedang dia pikirkan? Aku tidak tahu dan tidak bisa tahan terhadap kemungkinan-kemungkinannya, tetapi aku tidak bsia berhenti memikirkan hal itu. Tidak bisa melepaskannya dari pikiranku. Akulah pemimpinnya. Aku seharusnya bisa memberikan rencana yang lebih baik, lebih pasti. Jika aku tidak bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan keluargaku sendiri, bagaimana bisa anggota Animorphs yang lain mengandalkanku, coba? Bagaimana aku bisa mengandalkan diriku sendiri? Otakku yang kelu dan berkabut memohon untuk terlelap, tapi hal itu tidak terjadi. Jam-jam merayap pergi. kata Tobias sementara matahari terbit dan kamarku dipenuhi cahaya matahari yang indah keemasan. Aku tidak bisa menjawab. Tak ada yang harus dikatakan juga. Aku mendengar Tom perlahan melewati kamarku. Mendengar dia membuka, lalu menutup pintu kamarnya. Aku berayun turun dari ranjangku dengan lelah dan membuka jendelaku. Waktunya mengecek Chapman. Chapter 19 Aku menggunakan morf peregrine falconku dan terbang ke rumah kosong tempat Chapman disandera. Aku tergoda untuk terus menahan Chapman dan membuat Yeerknya kelaparan hingga mati. Biarkan Kerajaan Yeerk tahu bahwa mereka juga punya kelemahan. Bahwa kami cukup kejam untuk membunuh, ketika sudah cukup didesak. Kemarahan gelap yang menjijikkan dalam diriku ingin melakukan hal itu. Dan sudah hampir melakukannya, kemarin malam menggunakan morf badak. Aku mendarat di pohon dekat jendela. Ax masih di dalam. Aku bertanya dari luar. balas Ax. aku berkata. sergah Ax. aku berkata. Aku tidak pernah mendengar Ax semarah ini. Tidak pernah. ujarnya, tapi kemarahannya sudah melembut sedikit. aku berkata lelah. Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, dan aku duduk, nelangsa dan malu, di pohon. kata Ax letih. Aku diam di sana, melembutkan sayapku menggunakan hawa pagi yang dingin, menonton sementara para komuter pagi mulai mendatangi mobil-mobil mereka, meletakkan koper dan laptop mereka di bangku belakang, lalu berangkat kerja. Normal. Hari yang normal di sebuah pinggiran kota Amerika. Kecuali di seberang jalan sana seorang gadis menangisi ayahnya yang sudah diambil darinya sejak lama tanpa dia ketahui , dan di sini, seorang makhluk setengah manusia setengah Yeerk sedang diancam dengan kematian yang menyiksa. Ax bisa saja menggunakan bahasa-pikiran pribadi yang hanya akan didengar oleh Chapman. Tapi dia ingin aku mendengar. Jika Chapman menjawab, aku tidak dapat mendengarnya. Kutebak dia menjawab sesuatu, karena Ax berkata, Beberapa saat kemudian Ax morf menjadi osprey dan mengangkasa meninggalkan rumah itu. Chapman akan melarikan diri. Kami telah meninggalkan pecahan kaca di sana secara mencolok. Chapman percaya kami semua adalah Andalite. Dia akan berpikir kami terlalu tidak akrab dengan dunia manusia untuk mengetahui bahwa pecahan kaca dapat memotong tali-talinya. kata Ax. Ax memandangku, mata elang yang garang berkilat-kilat. Aku tidak menjawabnya. Aku ingin percaya bahwa hal itu penting bagi keduanya, tapi otakku yang kelelahan bahkan tidak bisa membentuk kata-kata untuk meyakinkan diriku sendiri, apalagi dia. Ax terbang kembali ke hutan tempatnya tinggal, menggumamkan sesuatu tentang ritual pembersihan. Aku terbang ke rumah dan membebastugaskan Tobias. kata Tobias. Tobias terbang pergi. Kami akan berangkat ke kabin Grandpa G dalam dua jam. Pada saat yang lain tahu aku tidak akan menemui mereka di gudang jerami, kami akan sudah jalan jauh. Aku sudah tidak akan lagi menggunakan teman-temanku dalam misi ini. Aku sudah lelah dengan ketidakpercayaan Marco dan harga diri Ax dan bahkan simpati waspada Cassie. Ini keluargaku. Kakakku, sang pembunuh. Ayahku, sang target. Dan aku, si bodoh di antara mereka. Hanya kami bertiga. Jika kakakku Tom, mencoba membunuh ayahku dalam dalam situasi frustasi yang sangat memaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, aku akan morf. Dan hal terakhir yang akan dilihat kakakku adalah aku, adiknya, musuhnya di dalam selimut dan menghancurkannya dengan segala kekuatan mengerikan dan barbar yang sudah menjadi hakku untuk digunakan. Aku telah memberitahu diri sendiri bahwa aku akan melakukan apa saja yang harus dilakukan, dan aku akan melakukannya. Tiba-tiba, aku butuh bicara pada Cassie. Dan mungkin, setelah semuanya berakhir, aku akan melakukannya. Chapter 20 Homer sudah dititipkan di rumah Rachel, dimana dia akan menghabiskan empat hari berikutnya dielus dan dimanja dan diajak bermain. Sayang sekali dia dan aku tidak bisa bertukar tempat. Dan sekarang, ayahku, Tom dan diriku punya delapan jam perjalanan di jalan tol yang membosankan menanti. Tom duduk di depan bersama ayahku, cemberut dan menjawab pertanyaan ceria ayahku yang dipaksakan hanya menggunakan sepatah dua pata kata. Aku menjawab beberapa, tapi hatiku tidak tinggal di sana juga, dan setelah sekitar sepuluh mil, ayahku berhenti mencoba. Aku duduk tegang di belakang, memerhatikan Tom, mencari-cari tanda kekurangan Kandrona apapun. Tak ada. Mungkin dia sudah makan kemarin malam, sambil sibuk mencari-cari Chapman. Meski begitu tidak masalah, karena kami masih belum akan pulang sebelum batas tiga-hari habis. Aku mencoba membayangkan hidup tanpa Tom. Tanpa kakakku. Aku akan jadi anak tunggal. Marco anak tunggal. Cassie dan Tobias juga. Tapi aku bukan anak tunggal dan aku tidak mau jadi begitu. Menyelamatkan Tom adalah alasan mengapa aku setuju bergabung dengan Animorphs. Aku tidak menginginkan ini, semua hal ini. Tapi lalu aku mengetahui para Yeerk sudah mengambil Tom dan menjadikannya salah satu dari mereka. Untuknyalah aku bertahan terhadap morf pertamaku yang mengerikan. Untuk menyelamatkannyalah aku sudah turun ke kolam Yeerk, rumah hantu yang tak terduga itu. Aku takkan menyerahkan Tom ke tangan Yeerk-Yeerk itu. Aku harus membiarkan harapanku tetap hidup. Tapi aku harus menjaga nyawa ayahku juga. Yeerk di kepala Tom sebenarnya terkunci pada pertarungan dengan diriku tanpa dia ketahui. Kami berdua seteru mematikan di lahan perang dimana dua orang yang bersalah, kakak dan ayahku, berdiri tepat pada garis tembak kami. Setelah sejam atau dua jam, aku jatuh tertidur. Terbangun empat jam kemudian sementara kami berhenti di tempat istirahat. Kami pergi ke toilet. Menelan hamburger hangat dan ketang goreng yang keras dan kaku. Kembali ke jalanan. Akhirnya, saat aku sudah mati rasa dan pegal karena duduk terlalu lama, ayahku membelokkan mobil kami turun ke jalanan yang tersembunyi diaspali kerikil. “Kita hampir sampai,” ujarnya lesu. Aku duduk tegak. Tom juga. Hutan lebat membingkai jalanan, cabang-cabang pohon terlihat seperti ingin menggapai mobil. Udaranya lebih sejuk, sebih bersih, dan berbau seperti tanah yang gembur dan hitam. Seekor tikus merangkak ke jalan di depan kamu. Menegakkan badan, tak ketakutan, dan menonton sementara kami perlahan menghampirinya. “Tseeeer!” Seekor elang meluncur entah dari mana dan mencengkramnya. Membawanya pergi. “Yang kuat yang bertahan hidup,” Tom bergumam, mulutnya melengkung menjadi senyuman kecil sarat rahasia. Aku memperhatikan sisi kepalanya. Aku memerhatikan telinganya, ingin membayangkan siput abu-abu menjijikkan di dalam otaknya. Apa kau punya rencana, Yeerk? Apa hutan ini dipenuhi oleh sekutumu? Apa para Hork-Bajir sedang diam menunggu? Apa ada Bug Fighter melayang di atas kami, menunggu tanda? Atau, sepertiku, kau ingin mengatasi masalah ini seorang diri? Jangan coba-coba, Yeerk. Kau takkan menang. Yang kuat yang bertahan hidup, Yeerk. “Akhirnya,” ayahku berkata, menghela nafas dan memarkir mobilnya. “Semua ayo keluar.” Botku berkeriuk keras menginjak kerikil dan jarum pinus. Bunyi pintu mobil ditutup terdengar keras sekaligus tak ada artinya di tengah keheningan pepohonan. Kabin Grandpa G berdiri di tengah lahan terbuka yang kecil dan berumput, dikelilingi pohon-pohon pinus menjulang yang gelap. Ada jalan setapak yang sering digunakan mengarah dari pintu depan lurus ke dermaga di danau. Sunyi. Lalu, ibu dan kakek-nenekku menghambur keluar dari kabin. Kami dipeluk dan dikomentari, diberi makan dan digiring ke beranda untuk bersantai. “Mengetahui bahwa Grandpa G sudah tidak ada lagi membuatku sedih,” ibuku berujar pelan, memandangi matahari tenggelam di danau. “Dia benar-benar suka tempat ini. “Aku ingat waktu dia baru pulang dari perang,” kakekku merenung. “Dia jadi orang yang berbeda. Dia bilang dia hanya menginginkan kedamaian setelah melihat terlalu banyak.” “Beberapa orang nggak bisa menangani kenyataan perang, kayaknya,” kata Tom ringan, membuat orang tua dan kakek nenekku memandang kaget. “Dan apa yang mungkin kau ketahui soal perang, Tom?” kakekku bertanya datar, seakan mencoba tidak terdengar semarah yang dia rasakan. “Aku tidak ingat pernah mendengar pendapatmu” “Kau benar,” kata Tom cepat. “Itu hal bodoh untuk dikatakan. Sepertinya aku hanya kepikiran bahwa Grandpa G menghabiskan seluruh waktunya di sini, sendirian.” Semuanya jadi santai dan melanjutkan kenangan mereka. Tapi aku tidak. Aku hanya duduk dan menonton dan mendengar. Aku tidak punya rencana. Tak ada rencana kecuali bereaksi ketika Tom bertindak. Aku menunggu, bermain pertahanan lagi. Giliranmu, Yeerk. Chapter 21 “Kenapa pemakamannya nggak bisa diadakan besok saja?” kata Tom malam itu, setelah kami sudah berada di kamar loteng, “Maksudku, Minggu atau Senin, apa bedanya?” “Grandpa G memang maunya begitu,” jawabku, melihat sekeliling ruangan yang kecil dan redup itu. “Lagipula, kata Mom mereka nggak pernah menguburkan orang pada hari Minggu di sini. Hari Minggu hari kebangkitan, Senin pemakaman.” “Yeah, well, itu bodoh,” Tom berkata, memerhatikan diriku berjongkok di depan sebuah peti tua. “Ngapain kamu?” “Nggak,” jawabku, mengangkat setumpuk buku-buku tua berdebu dari atas sebuah peti kulit kecil. “Ingat ini, nggak, Tom? Ini footlocker-nya Grandpa G.” (Footlocker = Semacam tempat penyimpanan barang bagi prajurit Amerika, dibilang footlocker karena biasanya diletakkan di dekat kaki, di bawah tempat tidur. ) Tom meliriknya. Lalu mengalihkan perhatian, mengitari ruangan, mencari-cari hal untuk dilakukan. Aku membuka footlocker itu, diserang oleh rasa darurat tiba-tiba. “Ingat nggak, sekitar, lupa juga sih, waktu aku sepuluh tahun atau sekitar segitu? Dia menunjukkan botol air minumnya dan foto-foto seragamnya di Battle of the Bulge ?” (Battle of the Bulge = Desember 1944-Januari 1945 di pegunungan Ardennes di Belgia.) “Mungkin,” Tom bergumam. “Mereka nggak tahu apa mereka bakal mati kedinginan atau kelaparan atau kena tembak. Itu katanya.” Tom memutar bola matanya. Acuh tak acuh. Benar-benar seperti Tom, pikirku, hampir kagum. Si Yeerk menjaga ilusi tersebut. Memainkan perannya kepada kesempurnaan. “Natal, waktu mereka semua kangen rumah di lubang persembunyian mereka, mereka nyanyi ‘Malam Kudus.’ Musuh mereka juga nyanyi lagu yang sama, bahasa Jerman. Mereka dengar dari jauh. Kedua sisi rindu rumah. Kedua sisi berharap perang cepat selesai.” “Uh-huh.” “Apa kamu nggak ingat watu dia memberitahu semua ini pada kita, Tom?” Aku menekan, ingin dia mengakui bahwa dia mengingatnya. Ingin, tanpa alasan yang jelas, Tom yang asli untuk mendesak cukup keras dan keluar, hanya semenit saja, menjadi kakak manusiaku yang sesungguhnya lagi. Tom menghela nafas. “Samar-samar. Aku nggak terlalu suka certa perang jadul.” Aku mengangkat kotak kecil yang berisikan Bintang Perak Grandpa G dan Hati Ungu-nya. “Dia orang yang berani. Dia percaya pada kehormatan. Dan semua-semuanya dari film-film tua itu. Kehormatan dan keberanian dan lain-lain.” “Yeah, well, sekitar sejuta tahun yang lalu,” kata Tom. “Kehormatan dan keberanian bukan hal yang penting, di dunia nyata. Yang penting itu kamu menang atau nggak. Setelah kamu menang baru kamu bisa bicara soal kehormatan dan harga diri. Waktu kamu dalam pertempuran kamu hanya bisa melakukan apa yang harus kamu lakukan. Kehormatan dan keberanian dan semua-semuanya? Itu kata-kata yang bisa kamu umbar setelah kamu menghancurkan semua musuhmu dan orang lain yang jadi halangan buatmu.” “Kamu salah,” balasku datar. Dia memutar bola matanya, bosan sekarang. “Kamu masih kecil.” Aku melihat mata Tom menyipit. “Apa nih?” Dia meraih ke dalam footlocker itu dan mengangkat sebuah sarung pisau kulit yang sudah terkelupas. Dari situ dia menarik sebuah belati. Belati itu berkilauan tanpa rasa di bawah cahaya lampu yang redup. Belati yang panjang, mungkin sekitar delapan inci. Tiba-tiba, loteng itu jadi tertutup dan tak teraliri udara. “SS,” Tom menimbang-nimbang, mengamati benda itu. “Pisau Nazi tua. Grandpa G pasti mengambilnya dari prajurit yang mati sebagai suvenir. Keren.” “Kamu mau ngaapin dengan benda itu?” Tanyaku. Tom menelengkan kepalanya dan memandangiku. “Maksudku, nggak bisa kamu ambil begitu saja,” aku menambahkan cepat-cepat. “Bukan punyamu.” “Hey, kamu dapat medali, aku dapat pisaunya, oke?” katanya. “Sempurna. Kamu bisa duduk-duduk berpikir soal kehormatan dan keberanian dan semuanya, lalu aku dapat senjata yang bisa dipakai. Kedengaran adil buatku.” Aku memertahankan ekspresiku sekosong yang kubisa. Aku, juga, sedang memainkan sebuah peran. “Aku nggak bakal ambil apa-apa sebelum aku bicara sama Mom dan Nenek,” kataku, berhati-hati mengembalikan semua medali ke dalam kotak birunya dan menunggu Tom melakukan hal yang sama dengan belati itu. “Well?” Kataku. “Ayo, man, kembalikan ke dalam.” “Mom dan Nenek,” ejeknya. “Kamu benar-benar masih kecil. Pikirmu semuanya begitu mudah, ya, kan? Semuanya kalau nggak benar ya salah, hitam atau putih. Orang baik, orang jahat, nggak ada yang di tengah.” Tidak, Yeerk. Tidak. Tidak lagi. Dulu memang begitu. Tapi aku sudah pernah berada dalam garis itu; aku telah melakukan hal-hal yang tak pernah kuizinkan diriku untuk memikirkannya lagi. Aku tahu segalanya soal bayangan abu-abu. Aku berkata, “Kadang-kadang yang baik juga melakukan hal-hal yang buruk. Bukan berarti nggak ada perbedaan di antara baik dan jahat.” “Baik dan jahat,” katanya dengan senyum letih. “Kuat dan lemah. Itu kenyataannya. Pemenang dan yang kalah.” “Pisaunya, Tom,” kataku. Dia meletakkannya balik ke footlocker. Dia mematikan lampu. Kami merayap ke dalam tempat tidur kami masing-masing. Ke lubang persembunyian kami masing-masing. Chapter 22 Aku kedinginan. Membeku. Malam hari. Kakiku adalah kotak-kotak es yang padat, kecuali kain rombeng yang kubalut di sekeliling bootsku yang robek. Jari-jariku kaku, mencengkram M-I rifle ku dengan kaku. Aku memiliki satu klip dan setengah amunisi. Satu granat. Kalau tentara Jerman datang semuanya akan selesai dengan cepat. Aku tidak pernah lagi memakan makanan hangat sejak… Pernahkah aku memakan makanan hangat? Pernahkah aku, pernahkah, merasa hangat? Bukankah aku selama ini selalu berada di lubang beku, lubang hitam di dalam salju? Bukankah aku selama ini hidup di pinggir hutan yang gelap, menggigil, gemetaran, menunggu mendengar teriakan peluru yang berdatangan, menunggu mendengar bunyi clank-clank-clank para tank? Malam Natal. Selamat Natal. Aku mendengar suara batuk keras dari lubang di sebelah. Matthews. Dia dari Arkansas, Alabama. Salah satu dari tempat-tempat seperti itu. Anak selatan. Seorang muda, salah satu cadangan terakhir di pasukan kami. “Hey, nak,” aku berkata dalam bisikan serak. “Angsa atau ham?” “Apa?” Dia menarik nafas dari antara batuknya. “Di rumah, apa yang biasa ibumu masak buat makan malam Natal? Angsa atau ham?” Beberapa saat dia tidak menjawab. Lalu, “Ham.” “Yeah? Kami selalu makan angsa. Ibuku memasak angsa.” Dari lubang kedua, di sebelah kananku, sebuah suara mengatakan,” Jangan dengarkan dia, nak. Sersan nggak punya ibu.” Kupikir anak itu tertawa. Susah membedakannya dengan batuknya. Pneumonia, sepertinya. Dia seharusnya dievakuasi. Tapi tidak ada yang dievakuasi. Candaan soal hal itu biasanya berbunyi: bahkan setelah kau mati kau hanya punya tiga hari cuti setelah itu kau harus kembali lagi ke garis depan. “Sersan,” panggilnya setelah batuknya berkurang. “Sersan.” “Yeah.” “Kamu yang tulis suratnya, oke? Aku tahu itu tugas kaptennya, tapi dia nggak mengenalku. Kamu yang tulis surat.” Hanya ada satu surat. Surat yang akan memberitahu keluarga Prajurit Matthew bahwa dia termasuk dalam daftar mereka yang mati terhormat. Aku mengatakan sesuatu yang kasar dan cabul. Tak bisa membiarkan dia berpikir seperti itu. Saat kamu mulai berpikir kamu akan mati, mungkin akan begitu jadinya. “Beritahu ibuku kerjaku lumayan,” ujarnya. “Beritahu dia sendiri, aku bukan U.S. Mail,“ kataku. “Beritahu dia setelah kamu pulang.” “Merry Christmas,” kata suara pahit di sebelah kananku. Selama beberapa waktu tidak ada yang berbicara. Kami mendengarkan peluru berdatangan. Kami mendengarkan para tank. Kami menunggu kokangan rifle para sniper dan teriakan seseorang yang sekarat. Tapi kemudian udara yang tipis dan menggigit itu dipenuhi suara-suara, berantakan pada awalnya, kemudian terangkat menjadi sebuah harmoni yang mempermanis malam, membawaku pulang ke rumah dan keluargaku, mengisi kekosongan dan perutku yang sakit, dan menyejukkan luka-luka yang hatiku perih lelah. “Malam Kudus.” “Sunyi senyap,” Prajurit Matthews berbisik, tersenyum. “Kupikir aku juga mendengar tentara Jerman bernyanyi,” aku berkata. “Yeerk nggak bernyanyi,” kata Matthews. Tiba-tiba dia berada di sampingku. Dia membuka matanya. Memamerkan gigi-giginya. Dan menusukkan belati Nazi itu tepat ke jantungku. Mataku terbuka kaget. Kegelapan. Aku duduk, jantung bertalu-talu. Melirik ke sisiku. Tempat tidur satunya kosong. Aku berada di kabin Grandpa G. Tidur di kamar loteng bersama kakakku. Dan sudah sangat malam. Terlalu malam bagi Tom untuk bangun. Nafasku membeku di tenggorokanku. Aku berguling dan membuka footlocker itu. Belatinya tak berada di sana. Chapter 23 Aku melonjak dari tempat tidur. Memakai sweater dan sandal keluar kamar. Menuruni tangga. Cahaya malam memancarkan sinar keemasan yang samar-samar. Mendengkur. Menggumam. Semuanya mash terlelap. Aku berhenti di ruang utama dan memandangi sofa tidur. Ibuku di sana. Ayahku tidak. Oh, tidak! Apa aku sudah terlambat? Apa aku sudah memberikan kesempatan pasti dan tepat yang sudah ditunggu-tunggu olehnya? Aku mendorong pintu depan. Creeee… Aku berdiam diri. Menahan nafasku. Tak ada apa-apa. Aku menyelip dari celahnya dan menunggu di bayang-bayang teras. Mendengarkan. Angin membawa suara-suara. Di sana! Ayahku dan Tom sedang duduk di pinggir dermaga, berbicara dan mengayunkan kaki mereka di atas air. Ayahku tertawa dan memeluk punggung Tom spontan. Di belakang sweatshirt Tom ada tonjolan. Menunjukkan, selama beberapa saat, belati berkilauan yang tertanam di kantongnya. Ayahku tidak menyadarinya. Dia tertawa lagi dan menarik tangannya. Tom dan ayahku, berbicara secara pribadi di tengah malam. Tom, si pengkhianat. Ayahku, yang terkhianati. Aku tak punya keraguan akan siapa yang menghasutnya. Tom, meminta maaf soal kelakuannya yang buruk. Ingin berbicara pada ayahku, pria ke pria. Berbohong. Dia sudah menggiring ayahku ke luar, dimana tidak ada yang akan mendengarkan. Tom menyelipkan tangan ke belakang dan melingkarkan jari-jarinya ke belati itu. Mempererat cengkeraman ke pegangannya. Aku harus melakukan sesuatu. Cepat! Aku berjingkat ke dermaga dan berlari, tetap dalam garis pohon yang gelap, berubah wujud sambil bergerak. Aku tidak peduli setelah aku morf, Tom akan menyadari akulah musuhnya. Dan sekali dia mengetahui hal itu, aku tidak dapat membiarkannya hidup. Dia bertindak, aku bereaksi. Adrenalin mengguyur pembuluh darahku. Menenggelamkan rasa panik yang menggeleparkan. Bulu tebal, oranye dan hitam, tumbuh, bergelombang di sekujur tubuhku. Hidungku memipih, melebar. Indraku menyala. Penciuman! Pendengaran! Penglihatan malam hampir sebaik burung hantu. Aku dapat mencium kegembiraan kakakku. Dia senang, menunggu pembunuhan. Indra harimau. Kekuatan harimau. Tom akan jadi tak berdaya. Laki-laki dengan pisau melawan seekor harimau? Seperti melawan sebuah tank dengan pistol Nerf. Aku jatuh ke depan sementara tulang-tulangku melebur dan terbentuk kembali menjadi empat kaki yang kuat dan berotot. Cepat! Aku menjerit dalam diam, tersandung saat kakiku melebar dan kuku kakiku melengkung menjadi cakar yang mematikan. Tapi aku baru setengah jalan ke dermaga ketika Tom mengeluarkan belatinya yang berkilauan. Chapter 24 LCCRRRRAAAACCCKKKK! Suara tajam yang merobek malam. Ayahku dan Tom menoleh kaget sementara dermaga kayunya miring dan jatuh dengan bunyi deritan. Mereka menggapai-gapai mencoba mencari pegangan, tapi papan-papannya adalah akordion yang sedang diremas. Seluruh dermaga sedang dilipat oleh suatu kekuatan besar. Tom dan ayahku keduanya tergelincir ke dalam air. “Hei!” Ayahku berteriak, terjatuh. Dia muncul kembali, menarik udara, terantuk sesuatu, dan turun lagi. Aku mematung di bayang-bayang, terkejut, terperangah, menunggu apa yang akan terjadi. Ayahku bisa berenang seperti seekor ikan. Kenapa dia naik ke permukaan dan turun lagi? “Glug,” dia menguak, memunculkan diri beberapa yard dari dermaga yang hancur itu dan hampir langsung menghilang lagi. Seakan-akan sesuatu sedang menariknya ke bawah dan menyeretnya menjauh dari Tom… Tom kalut, memercikkan air dan berayun-ayun di air, tidak mencoba menyelamatkan ayahku, hanya ingin membiarkannya berada dalam jarak pandang. Kenapa? Agar dia bisa menontonnya mati? Agar dia bisa mencapainya dan menggunakan belati itu? Kemarahan bergaung di telingaku. Bulu-buluku beriak dan berdiri di ujung. Mulutku yang masih-manusia mengencang menjadi geraman. Aku bergerak ke depan lagi. “Gak,” ayahku tersedak, muncul sepuluh yard lebih jauh lagi dari dermaga. Tom berayun memutar di air, mencarinya Tiba-tiba, sebuah sirip memuncah di permukaan danau di belakang Tom. Hiu? Pikirku kosong. Hiu di danau pegunungan? Bukan, bukan seekor hiu. Lumba-lumba! Sebelum aku dapat bergerak, sirip itu menyayat air dan sesuatu menabrak tepat di punggung Tom. “Oof!” Tom membengkokkan badan, mata melebar karena kaget, dan terdorong ke depan, menabrak danau yang beriak muka duluan. Dia tidak bergerak lagi setelah itu. Sirip itu – bukan, ada lebih dari satu – sirip-sirip itu menyelinap tanpa suara ke bawah permukaan. “Tom! Tom, kamu baik-baik saja?!” Ayahku berteriak, memanjat ke tepian. Dia sudah diseret dua puluh yard di danau dan terhuyung kembali melewati semak-semak tebal yang diselimuti belukar. Tom mengapung tengkurap, tak bergerak dalam air. Ayahku tidak akan bisa datang tepat waktu untuk menyelamatkannya. Aku bisa. Harimau bisa berenang. Aku dapat menyelamatkannya. Tapi aku tidak bergerak. Membeku. Otak terkunci pada satu kenyataan bahwa jika Tom meninggal dia akan, pada akhirnya, bebas. Bahwa jika si Yeerk mati aku akan bisa membalaskan dendamku. Kami akan jadi lebih aman, lebih kuat, lebih bebas dari seorang pengendali bernama Tom yang sudah mati dan pergi. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sebuah suara memerintahkan. Aku patuh, lega dalam satu kali ini untuk memenuhi perintah daripada memberikannya. Lega karena keputusan sudah diambil dari tanganku. Yang lainnya sudah membuntutiku ke kabin. Mereka sudah mendukungku bahkan sewaktu aku sudah mengatakan tidak. Mereka sudah mengambil keputusan dari tanganku. Aku maju ke depan. Kakiku sudah kembali menjadi manusia. Aku berdiri. Bulu-buluku sudah menghilang. Tom akan tenggelam kecuali aku menyelamatkannya. Menyelamatkannya mungkin masih akan berarti kematian ayaku. Tolong aku! Aku ingin berteriak. Beritahu apa yang harus kulakukan! Air danau bergelombang. Bergejolak. Dan tiba-tiba tubuh Tom yang lemas dan tak sadarkan diri terseret melintasi air seperti sebuah papan seluncur, didorong terus-menerus ke pinggiran. Aku berlari ke pinggir air. Bayanganku di riak sinar bulan adalah manusia. Terengah-engah, aku menarik tubuh Tom ke daratan. Memutar tubuhnya. Air mengalir dari mukanya. Kaki kanannya menggeliat dan terpuntir dalam sudut aneh yang gila dan menyakitkan. “Tolong,” aku bersuara, melompat ke kakiku. “Tolong!” Tom mengerang. Terbatuk. Dia tersedak dan mengeluarkan kumpulan air danau yang bau. “Jangan bergerak,” kataku asal, mencoba menahannya diam sementara dia terbatuk. Ada yang salah dengan kakinya. Ada engsel dimana seharusnya tidak ada. “Kayaknya kakimu patah.” “Jake!” Ayahku berteriak, terhuyung datang. Pakaiannya terkulai, basah dan robek, dan dia diselimuti lumpur yang hitam dan licin. “Apa Tom baik-baik saja?” “Nggak,” aku menjawab, menggelengkan kepala. “Seseorang sebaiknya menelepon ambulans. Dad, cepat!” Ayahku berlari ke kabin. Aku menoleh pada Tom. Di dalam kepalanya ada seorang pembunuh. Dia hampir membunuh ayahku. Tapi apa yang kulihat, mata yang sedang kutatap, adalah milik kakakku. Aku duduk di lumpur sebelahnya. Wajahnya pucat karena terkejut, matanya dipenuhi kesakitan suram. Giginya bergemeletukan dan air mata merembes ke rambutnya. “Pergi dari sini, cebol,” nafasnya sesak, menggeliat. “Pergi dari sini dan tinggalkan aku sendiri!” “Nggak mau,” jawabku, bergerak mendekat. “Aku… nggak mau.” Dan aku tidak bergerak sampai aku mendengar bunyi dalam THWOK THWOK THWOK dan sebuah helikopter medis turun dari malam berbintang dan membawa Tom pergi. Chapter 25 “Oke, sayang. Kamu, juga.” Ayahku menutup telepon dan menghela nafas. Dia menyisir rambutnya yang kusut dengan tangannya, lalu menoleh untuk melihat wajah-wajah resah. “Well?” Tanyaku. “Ibumu bilang mereka mengevakuasi Tom lansung ke rumah sakit dekat rumah kita,” kata ayahku, menjatuhkan diri di kursi. “Sepertinya dia kena patah tulang kompleks dan rumah sakit kita cuma satu-satunya di daerah situ yang punya cukup peralatan.” “Serius,” kataku, sama sekali tidak kaget. Tentu saja: di rumah. Di mana ada banyak Pengendali untuk meyakinkan bahwa Tom mendapat akses ke sinar Kandrona penyelamat-jiwa milik kolam Yeerk. “Dia sedang kesakitan dan akan tinggal di tempat tidur beberapa saat, tapi setidaknya dia akan baik-baik saja,” ayahku berkata berat. Dia menggapai dan memelukku. “Syukur sekali kamu sampai tepat waktu buat menyelamatkan dia, Jake.” “Aku nggak menyelamatkannya,” kataku. “Dia mengambang menjauh dari tepian. Aku cuma menariknya keluar dari air.” “Dan menyelamatkannya,” ayahku bersikeras, melepaskanku. “Aku benar-benar takut malam ini, Jake. Aku sama sekali tidak mau kehilangan salah satu dari kalian.” “Aku juga,” jawabku. Dan semuanya nyaris saja. Belati setengah-dikeluarkan. Harimau berlari. “Well, aku butuh secangkir kopi,” kata ayahku. “Aku akan membuatnya,” nenekku menawarkan. “Buatkan aku juga, ya,” kakekku menambahkan. “Hal pertama besok pagi, aku akan memanggil siapapun yang membangun dermaga itu dan membacakan pasal kerusuhan pada mereka,” kata ayahku. “Lalu aku mau bicara pada seseorang tentang gelombang pasang atau arus atau apalah itu yang menyeretku turun ke danau. Berbahaya sekali!” “Yeah. Um, begini, aku akan kembali, oke?” Kataku. “Butuh udara segar.” Aku menyelinap keluar dari pintu dan masuk ke kegelapan yang memudar. Aku berdiri di sana mendengarkan, tapi tidak ada gunanya. Pendengaran manusia begitu terbatas. Aku merentangkan tangan seperti, Well? Tobias memanggil dari kumpulan pohon pinus yang lebat. Aku berjalan dan bertemu dengan mereka di bayang-bayang. Tanpa kutanya, mereka memberitahuku bagaimana mereka melakukannya. Bagaimana Tobias terus-menerus mengawasi dan membunyikan tanda bahaya ketika Tom dan ayahku keluar dari kabin. Bagaimana Cassie cepat-cepat morf jadi paus dan berjuang di air pengikis-kesabaran sedangkal dua puluh kaki untuk menghantam dermaga, berdoa dia tidak akan kandas sebelum sampai di sana. Bagaimana Rachel dan Ax sudah morf menjadi lumba-lumba, menggempur Tom, mematahkan kakinya, dan menyeret ayahku ke tempat aman. Aku ingin mengatakan banyak hal. Seperti bagaimana mereka sudah menyelamatkan keluargaku. Kewarasanku. “Thanks,” ujarku. “Hei, jangan dipikirkan,” kata Rachel sambil lalu. “Kamu juga butuh liburan kok.” “Dan tikus. Jangan lupakan tikusnya,” tambah Cassie sambil tertawa. Tobias menawarkan. “Itu karena kamu bisa makan seperti babi,” kata Rachel. Mereka mencoba terlalu keras. “Dimana Marco?” Tanyaku. Cassie mengangkat bahu. “Dia nggak tahu apa kamu mau melihatya sekarang juga. Dia pikir kamu masih butuh waktu menenangkan diri atau apalah.” “Keluar saja, Marco.” Dia menjejakkan kaki ke dalam jarak pandang dari balik sebuah pohon. Terlihat sedikit waspada. Tidak mengejutkan, memikirkan seperti apa aku memerlakukannya beberapa waktu lalu. “Hei, Big Jake.” “Marco. Pasti ini rencanamu.” “Kurang lebih.” “Yeah. Well. Rencana bagus.” “Thanks, Nggak akan berhasil tanpa para Chee,” kata Marco, mengangkat bahu seakan hal itu bukan apa-apa. “Mereka yang jadi pilot di heli medisnya dan bersikeras membawa Tom pulang ke rumah. Tanpa mereka, semua yang tersisa cuma anak dengan kaki patah sendirian di tengah-tengah hutan.” “Tom sudah balik ke rumah. Hidup. Ayahku hidup. Krisis terlewati. Aku seharusnya memikirkannya sejak awal. Tom, terluka, punya alasan sempurna untuk tidak ikut ke sini. Aku seharusnya sadar.” Marco mengangkat bahu. “Yeah, well…” “Aku terlalu dekat dengan masalahnya,” kataku. “Kamu benar. Aku terlalu dekat untuk melihat semuanya jelas-jelas.” Marco tidak membantah. Dia tidak membanggakan diri juga. Sepertinya kami semua punya kekuatan dan kelemahan kami masing-masing. Kekuatan Marco adalah kemampuan untuk melihat jalan menuju tujuan, bahkan walau itu berarti tidak ambil pusing terhadap akibatnya dan perasaan akan benar dan salah. Dia telah melihat solusi yang sudah kulewatkan. Aku menarik lengan Marco dan membawanya menjauh dari yang lainnya. Ke tempat mereka tidak akan mendengar. “Kamu teman terbaikku, Marco. Kalau kamu sekali lagi bilang aku lepas kendali, terlalu dekat sama masalah, nggak bisa memimpin – “ “Kamu mau nendang pantatku?” Selanya sambil nyengir. “Nggak. Aku bakal dengar. Bakal kudengarkan. Baru kutendang pantatmu.” Dia tertawa. Aku tertawa. Apa yang bisa kukatakan? Marco dan aku sudah jadi teman sejak zaman purba. Kami bergabung dengan yang lainnya. Aku menghentikannya. “Marco?” “Apa?” “Semua rencana ini berjalan gara-gara Tom keluar kabin dan membuat dirinya sendiri rawan. Bagaimana kalau dia nggak keluar?” Marco tidak memandangku. “Kamu harus menjaga agar aku nggak mengacaukan rencana, apapun akibatnya,” aku menekan. “Kamu harus menjaga keamanan kelompok kita dan menjagaku tetap hidup. Itu prirotas utamamu.” Dia mengangguk. “Jadi, bagaimana kalau kamu nggak sampai tepat waktu? Bagaimana kalau Tom berhasil membunuh ayahku?” “Cukup jelas, setelah kupikir-pikir, kalau Tom membunuh ayahmu kamu akan lepas kendali,” kata Marco kalem. “Kayak permainan catur; Tom makan ayahmu, kamu makan Tom. Kamu akan pergi dan mengejar Tom, menyingkapkan dirimu dan kami semua. Game over. Jadi kami nggak bisa membiarkan itu terjadi. Ayahmu harus selamat agar kamu juga selamat. Bidak yang bisa dibuang itu Tom. Tapi jika ada sesuatu yang terjadi pada Tom, harus terlihat alami, bukan seperti seorang Animorph yang melakukannya, dan kamu nggak boeh terlihat terlibat. Harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jadi, kalau memang begitu jadinya – “ “Jangan,” ujarku pelan. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau tahu. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang mengatakan apapun. Aku hanya membiarkannya tenggelam. Kamu tahu apa yang biasanya kubicarakan dengan Marco? Apakah Batman dapat mengalahkan Spiderman. Apa Sega lebih bagus daripada Nintendo. Apa seorang cewek lebih baik jalan bersama dia atau denganku. Dan sekarang… “Sekarang kita ini apa, Marco? Apa yang sudah terjadi pada kita?” Dia tidak menjawab. Aku tidak menunggu jawabannya. Kami berdua tahu apa yang telah terjadi. “Sebaiknya aku kembali ke dalam,” kataku. “Yeah. Dan kami harus pulang ke rumah. Kami menumpang mobil ternak kemari. Kami mencari sesuatu yang lebih nggak berbau untuk perjalanan pulang.” Aku kembali ke dalam kabin. Chapter 26 Ibuku pulang hari berikutnya. Hari itu hari Minggu, hari kebangkitan Grandpa G dan kemudian kami melakukan pemakamannya hari Senin. VFW chapter sekitar situ datang dan membawa seorang bugler, yang memainkan lagu dengan ketukan lambat dan sendu. Prajurit yang lain mengambil bendera Amerika yang terlipat dari kotaknya dan memberikannya ke nenekku, anak perempuan Grandpa G. Dia dan pria-pria tua itu memandang satu sama lain untuk waktu yang lama dan senyap seakan mereka sedang bertukar kenangan, pengalaman seumur hidup yang hanya dapat dimengerti oleh mereka sendiri. Tetapi aku mengerti. Mungkin bukan perang mereka, tapi perang kami. Karena sekarang kamilah yang bersiaga di garis depan. Yang bertarung dan berdarah, berhasil dan gagal, menang dan kalah. Aku tahu apa yang dimaksud Grandpa G sekarang. Dia hanya berbicara soal perang dua kali, setidaknya padaku. Sekali, ketika dia membuka footlockernya. Dan satu lagi, benar-benar dulu, ketika kami berdua duduk di dermaga. Ketika perangku selesai, jika aku bertahan hidup, mungkin aku tidak akan berbicara banyak soal itu juga. Dengan pengalaman seperti itu, satu kali sudah cukup. Kami masing-masing meletakkan setangkai mawar di petinya sementara kami pergi. Bukan pemakaman yang besar, tapi semua orang di sana menangis. Bagaimanapun, aku juga. Ketika kami kembali ke kabin kami menelepon rumah sakit dan berbicara dengan Tom. Dia baik-baik saja. Semuanya kembali seperti semula. Kakakku masih hidup. Begitu juga dengan musuh di dalam kepalanya. Semuanya adalah pertarungan sia-sia. Tak ada yang menginginkannya, tak ada yang mendapat keuntungan karenanya. Semuanya menderita. Chapman, Ax, Tom, Marco, dan seseorang yang hanya ingin tempat parkirnya kembali. Dan aku. Tapi kami semua bertahan hidup, dan dalam perang kapanpun kau bangun dari tidurmu untuk melihat sinar mentari, itu adalah sebuah kemenangan. Aku dan keluargaku bermobil kembali hari Selasa. Aku duduk di kursi depan dengan ayahku sementara ibuku tertidur di belakang. Ayahku membiarkan aku memilih stasiun radio dan memberitahuku untuk kesepuluh juta kalinya betapa musik di ‘hari-harinya’ dulu jauh lebih baik daripada sekarang. Kami makan siang burger dan ibuku memberitahu kami hanya untuk kesepuluh juta kalinya kami terlalu banyak makan lemak jenuh. Kami kembali ke jalan untuk menyaksikan ‘Bola Pintal Terbesar di Dunia!’ Kau tahu, kecuali semua bola pintal ‘Terbesar di Dunia’ lainnya. Hal-hal kecil dan sederhana, tetapi menyenangkan. Kami berbicara tentang Grandpa G kemudian hal-hal lain. Hal-hal normal. Perjalanannya selalu terasa lebih singkat kalau pulang. Tom sudah menjatuhkan belati Nazi itu di air ketika dia terlontar dari dermaga. Sepertinya sudah tenggelam ke dasar danau. Aku bisa mendapatkannya kembali, mungkin. Tak kulakukan. Tapi aku memiliki medali-medali Grandpa G di dalam kantongku. Nenekku telah memberikannya kepadaku. Dia bilang Grandpa G ingin agar aku yang memilikinya. Aku selalu tahu dia sudah menjadi seorang pahlawan dalam perang. Bahwa dia mendapatkan medali dan lain sebagainya. Dan aku dulu bertanya-tanya mengapa dia tidak meletakannya dalam kotak kaca, memamerkannya kepada seisi dunia untuk melihat. Tapi aku sedikit lebih bijak, sekarang. Bagi orang yang mendapatkannya, medali tidaklah begitu sederhana. Setiap kali Grandpa G melihat medali-medali itu dia akan berpikir tentang semua hal yang telah terjadi, hal-hal yang dia lihat dilakukan oleh orang lain, hal-hal yang telah dia lakukan sendiri. Aku tahu dia bangga menjadi seorang berani, bangga karena telah mencoba sebaik mungkin bagi negaranya. Tapi aku juga tahu kenapa medali-medali itu dibungkus, dalam footlocker, dalam loteng, dibiarkan jauh dari pandangan. Mungkin nanti akan ada medali bagi mereka yang bertarung dalam perang melawan Yeerk. Aku harus membeli satu footlocker. END Translated by Nat 2010 ginger_shive@yahoo.com Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================